SELAMAT DATANG DIBLOG BEJOSENTOSO

Minggu, 26 Februari 2012

Sabtu, 25 Februari 2012

Perubahan Itu Keharusan, Bukan Pilihan!

Lusuh… kumal… dekil… Itulah kesan pertama yang nampak dari pria tua itu. Rambutnya yang putih dan kulitnya yang mengerut nan legam, semakin menyemburatkan kerentaannya. Ditemani asap rokok yang mengepul dari mulutnya, pria tua besar itu beraksi laksana seorang aktor. Wajahnya dibuat memelas agar menggoda kantong para penumpang buskota untuk memberi ala kadarnya. Itulah senjata utamanya, selain topi ’kotak amal’ yang setia menemaninya. Tidak jauh dari situ, seorang nenek nan tua, kurus, berkerudung jingga melangkah tegar. Seolah-olah dia sedang menunjukkan kekuatan dirinya yang tidak takluk dengan keganasan zaman. Sambil menggenggam erat karung putih yang dipanggul, tapaknya pasti menggetarkan bumi. Matanya nanar memandang tajam, mencari kepingan-kepingan gelas plastik dan rongsokan lainnya untuk ditukar dengan rupiah. Dengan sabarnya, ia kumpulkan sedikit demi sedikit ’sampah’ air minum mineral tersebut, hingga memenuhi karung yang tak pernah lepas dari punggungnya itu. Dalam hatinya dia berujar, ”meskipun dunia terus menghinanya dengan berbagai kemelaratan, Aku tidak akan merendahkan diri dan kalah dalam pertarungan hidup ini.” Senandungnya dalam jiwa. Jika dicermati, kedua insan ini nyaris memiliki kesamaan. Dalam hal umur, lebih dari setengah abad kehidupan sama-sama mereka lalui. Telah banyak cerita kehidupan yang mereka gambar menjadi drama tak bertuan yang tersimpan di nurani. Pun begitu dilihat dari segi nasib. Mereka masuk dalam ’kotak’ kaum marginal yang tak disahabati alam, tak dicintai kehidupan. Perbedaan kedua orang renta ini hanya pada perjuangan. Kakek tua yang meskipun nampak renta, namun dari ketegapan tubuhnya tersirat tenaga yang luar biasa. Meski sungguh disayangkan, kemampuan itu tertutupi dengan keputusasaannya atau justru dengan kemalasannya. Sehingga kemudian, sang kakek memilih menjadi pengumpul ’rupiah’ keikhlasan. Berbeda dengan sang nenek pejuang. Meskipun sekujur tubuhnya dibanjiri otot sebagai bentuk ’protes’ tubuh yang terus dieksploitasi tanpa henti, Semangat berjuangnya terus hidup dan mengalahkan kerentaannya tersebut. Nenek itu telah menjadi menara kokoh yang ujungnya tak mampu diguncangkan gempa sekalipun. Dia yakin bahwa perubahan akan datang pada setiap jasad yang berusaha keras untuk mencapainya. Kita tilik benak sang nenek tua. Mungkin nuraninya rutin berujar bahwa kelelahannya menaklukkan keganasan dunia, akan terbayar tuntas dengan kehidupan akhirat yang menjanjikan kenikmatan tak terbatas. ”Bukankah tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah? Bukankah mengemis di mata sang Khaliq adalah pekerjaan hina? Bukankah setiap orang yang merasa kelelahan setelah bekerja seharian untuk mencari penghasilan yang halal, sangat dimuliakan di hadapan Tuhannya,” gumamnya. Mungkin kisah di atas sangat sering kita temui, bahkan nyaris setiap hari tercecer di pinggir-pinggir trotoar jalan maupun jembatan penyeberangan. Namun, mampukah kita mengambil nilai dari kisah-kisah tersebut yang kemudian menjadi media kontemplasi pribadi? Atau hanya menjadi pernak-pernik kehidupan yang tidak penting bagi kita? Jalan Panjang itu! Sebagai perjalanan yang sangat panjang dan berliku, reformasi birokrasi juga akan mengalami kerentaan seperti kisah di atas. Dan kita akan memilih jalan seperti sang kakek yang berputus asa dan berhenti berjuang dengan mengemis kepada langit. Atau terus semangat berjuang sampai alam melumat tubuh-tubuh ini. Hanya dua itu saja! Kahlil Gibran bersenandung ”Dibalik salju yang gugur dan tebalnya awan gemawan serta prahara yang menderu-deru, ada suatu Roh Suci yang memahami keadaan buruk dari umat manusia dengan rasa kasih-sayang.” Itulah darah semangat yang harus terus mengalir dalam nadi kita. Pertempuran melumat birokrasi usang yang menjangkit ’negeri garuda’ ini sejak merdeka, bukanlah pertarungan sehari, sebulan, setahun atau sampai kapan pun. Gerakan ini butuh waktu yang tidak sedikit, butuh logistic yang melimpah, butuh ketahanan yang tak kunjung habis. Pastinya, harus juga disadari bahwa gerakan yang kita lakukan ini juga sepenuhnya dibimbing Pemilik Kehidupan. Lewat ilhamNya kita dituntun menelurkan ide-ide segar yang tiba-tiba menyelinap di logika. Lalu mengapa kita harus kalah dengan berbagai isu miring, tekanan politik, maupun ancaman yang nyaris setiap detik menghiasi media massa. Bukankah tujuan kita sudah sangat jelas, Perubahan! Mengutip pesan mantan Menkeu, Sri Mulyani Indrawati, bahwa reformasi birokrasi sebagai proses perbaikan institusi adalah proses belajar seumur hidup. Masa-masa honeymoon bagi pegawai negeri telah habis. Kini masyarakat mulai menagih komitmen perubahan itu. Lalu, haruskah harapan itu kita hempaskan kembali! Dan ketika kita lelah dengan tantangan dan hambatan yang menghadang laju pedati reformasi ini, maka kokohkan kembali dengan bersandar kepada pemilik kehidupan. Tidak ada kata putus asa di nurani pecinta perubahan. Karena jika kita tidak pernah menyerah berarti kita tidak pernah kalah. Itulah prinsip yang harus terus dipegang teguh. Tidak lekang dimakan zaman, tidak ciut digerus waktu, tidak hancur ditempa kerasnya kehidupan. Pesan Menteri Keuangan Agus Martowardoyo untuk tetap bekerja dengan prinsip good governance, integritas, dan profesionalitas dalam bekerja, selayaknya menjadi nafas setiap pegawai Kementerian Keuangan. Dan perubahan itu merupakan keniscayaan. Karena setiap entitas yang tidak berubah, pasti akan punah. Sinergisitas! Kejahatan yang terorganisir, akan mengalahkan kebenaran yang terorganisir. Untuk itu, diperlukan sinergi yang kokoh antara elemen perubahan untuk terus menggerakkan roda reformasi birokrasi. Karena harus disadari bahwa kesuksesan perjuangan itu diinspirasi oleh yang bervisi, dimiliki yang berkeyakinan dalam, dilaksanakan dengan ikhlas, dimulai oleh yang cerdas, dimenangkan oleh yang berani, diraih oleh yang sehat dan kuat, digerakkan oleh yang bermotivasi, diraih dengan perencanaan matang, dihasilkan oleh kerja keras tim dan dilalui dengan kerja tuntas (B.S. Wibowo). Dan jalan perubahan ini, bukan tempat bagi para penggerutu yang berceloteh kosong dan menjadi kerikil-kerikil tajam penghalang laju perubahan. Tidak ada pilihan lain bagi generasi saat ini selain bergabung dalam ombak perubahan. Karena siapa yang menghalangi jalan, dia akan terlindas. Masih terlalu banyak kursi-kursi kosong di gerbong kereta reformasi yang harus diisi. Oleh mereka yang mencintai negeri dan ingin menyelamatkan generasi. Sadarilah, negeri ini masih memiliki harapan untuk bangkit. Bangsa ini memiliki kemampuan untuk menunjukkan taringnya di dunia internasional. Tantangan yang dihadapi pada masa transisi ini, hanyalah proses sesaat yang akan segera berlalu. Karenanya, janganlah berputus asa. Sebab dibalik kerancuan dunia, ungkap Gibran dalam syairnya, dibalik zat dan mega dan udara, dibalik semua benda, terdapat suatu kekuatan yaitu keadilan. Ya… keadilan akan tumbuh menjadi bagian kehidupan bangsa ini. Jika kita yakin dan terus menguras keringat untuk mewujudkan hal itu. Gerakan ini butuh sinergi. Hanya sinergisitas yang mampu mengokohkan mental-mental kita. Yang sering luluh oleh keadaan, hanyut terbawa arus kenikmatan, maupun larut bersama godaan yang tampil sekejap. Perubahan itu butuh sinergi sebagai komponen utamanya. Sinergi yang menghasilkan kesamaan langkah, kesinambungan komitmen, dan kesatuan hati mencapai tujuan perubahan. Haruskah kita berhenti setelah jalan panjang yang telah ditapaki selama ini menampakkan secercah asa. Mari kuatkan kembali komitmen kita untuk berubah dan mensukseskan perubahan. Meskipun hasil kerja itu tidak dinikmati oleh diri kita. Jadilah nenek tua renta yang terus bertarung menapaki kehidupannya. Terus bertarung bersama kelemahan yang tersirat di tubuh keriputnya. Dan jika jalan seperti itu tidak kita pilih, jalan mana yang akan kita pilih?

Inikah Perang Dunia Selanjutnya?

Masih membekas dalam benak kita betapa perihnya tragedi kemanusiaan terbesar sepanjang sejarah dunia. Perang Dunia II yang berlangsung tahun 1939-1945 dimana melibatkan lebih dari 100 juta personel berakhir dengan Sekutu sebagai pemenang secara militer, sedangkan perang politik dan ideologi masih terus berlanjut ke dalam arena baru, yang dinamakan dengan Perang Dingin, yakni antara Blok Barat di bawah pimpinan Amerika Serikat dengan Blok Timur di bawah Uni Soviet[1]. Blok Barat membawa ideologi liberalis-kapitalis sedangkan Blok Timur membawa ideologi sosialis-komunis. Pada tahun 1980-an, Amerika Serikat unggul atas Uni Soviet, hingga pada akhirnya pada tahun 1991 Perang Dingin selesai dengan ditandai runtuhnya ideologi komunisme[2]. Inilah yang dinamakan dengan fenomena dominasi, yakni dua kekuatan besar dunia akan saling berbentur hingga pada akhirnya muncullah satu kekuatan sebagai pemenang. Setelah berakhirnya Perang Dingin, runtuhnya Soviet dan dicampakkannya komunisme, maka telah menciptakan “vakum (kekosongan) ancaman” yang menyebabkan dunia Barat mencari musuh-musuh baru.[3] Jika rentang tahun 1945 hingga 1991 dua kekuatan besar dunia itu adalah Barat dengan ideologi liberal-kapitalisnya dan Uni Soviet dengan sosialis-komunisnya. Maka siapakah kini dua kekuatan besar dunia pasca runtuhnya komunis? Jawabannya adalah Barat dan Islam. Sebuah tesis dari pakar politik Harvard University, Samuel P. Huntington menyebutkan adanya Clash of Civilisation (benturan peradaban) antara Peradaban Barat dengan Islam[4]. Hal ini juga dikuatkan oleh Menteri Luar Negeri Italia menjelang persidangan NATO di London yang mengatakan, “Perang Dingin antara Barat dengan Timur (komunis Uni Soviet) telah berakhir, tetapi timbul lagi pertarungan baru, yaitu pertarungan antara Dunia Barat dan Dunia Islam.”[5] Jutaan kaum Muslimin di Asia Tengah yang sebelumnya terpuruk di bawah kezhaliman komunis Soviet, kembali menemukan jati dirinya sebagai Muslim dan berupaya mengekspresikannya sekaligus menjadikan Islam sebagai ideologi alternatif pengganti komunisme. Dalam artikel yang berjudul “Karl Max Makes Room for Muhammad” di majalah Time edisi 12 Maret 1990, juga menyebutkan bahwa negara-negara Asia Tengah anggota federasi Uni Soviet seperti Azerbaian, Tajikistan, Kazakhstan, Turkmenisten, Uzbekistan, Kirghizstan kini berpenduduk mayoritas Islam (antara 50% hingga 90%). Jelas ini merupakan salah satu tanda bahwa Ideologi Islam mulai kembang subur di kancah dunia. Inikah perang dingin selanjutnya? Peradaban Islam merupakan ancaman besar bagi Peradaban Barat. Islamlah yang pernah mengalahkan Barat pada Perang Salib silam (1096-1291 M), dan dari sini tentu menimbulkan dendam kesumat Barat terhadap Islam. Epistemologis[6] Islam jelas berbeda sekali dengan epistemologis barat. Epistemologis Islam menempatkan Tuhan (red: Allah) sebagai pusat, atau disebut juga dengan istilah Teosentris. Sedangkan epistemologis Barat menempatkan manusia sebagai pusat tatanan, disebut dengan istilah Antroposesntris, sehingga konsep-konsep Barat bersumber dari inspirasi humanistik rasional. Ambil contoh dalam memandang hakikat kebenaran. Epistemologis Islam memandang jika kebenaran mutlak bersumber dari Tuhan (wahyu), karena rasionalitas manusia itu terbatas sehingga tidak semua kebenaran bisa dibuktikan secara rasional. Dan hingga kini, Al-Qur’an terus dan akan tetap sejalan dengan perkembangan sains, karena Al-Qur’an merupakan wahyu Tuhan yang otentik. Sedangkan Barat memandang kebenaran secara materialis-empiris (tampak dan terbukti). Hal ini dikarenakan Barat mengalami tragedi spiritual yang amat buruk, dimana para ilmuwan sains pada tahun 1600-an M (seperti Galileo dan Copernicus) dihukum karena dianggap telah menentang Gereja, sehingga komunitas ilmuwan akhirnya sepakat bahwa kebenaran sejati akan didapat jika mereka berlepas diri dari dogma Gereja dan menggunakan rasionalitas mereka untuk membuktikan kebenaran secara empiris. Perbedaan Islam dan Barat jelas akan menimbulkan benturan hebat dalam peradaban dunia seperti yang disebutkan Samuel P. Huntington. Salah satu akibatnya, negara-negara dunia yang men-declare sebagai negara Islam atau negara dengan mayoritas penduduk Islam akan cenderung menolak sistem Barat. Dan telah kita ketahui bersama bahwa potensi energi dunia tersimpan di rahim bumi negara-negara Islam, sehingga dalam konteks ini hasrat barat untuk menguasai minyak bumi menjadi terhambat. Selain itu, penyebab permusuhan Islam dengan Barat adalah kesalahpahaman Barat dalam memahami Islam. Barat pada umumnya mempelajari dan memahami Islam dari buku-buku para orientalis, sedangkan para orientalis mengkaji Islam dengan tujuan untuk menimbulkan miskonsepsi terhadap Islam, selain adanya motif politis yaitu untuk mengetahui rahasia kekuatan umat Islam yang tidak lepas dari ambisi imperialis Barat untuk menguasai dunia Islam. Hal ini diperparah dengan sajian media yang menampilkan bukan “Islam kebanyakan” (Sunni), melainkan Islam Syi’ah (Iran) yang hanya dianut oleh sekitar 10% kaum Muslimin dunia. Akbar S Ahmed menuliskan, “Syi’ah menjadi perwakilan Islam di media Barat.”[7] Dan seperti kita ketahui bersama bahwasanya Iran ialah negara yang lantang menentang Barat, dan akibatnya sejak tahun 1980 hingga kini Iran telah diembargo oleh Barat.[8] Iran kini terisolasi dari dunia luar, terisolasi dari akses ekonomi dunia dan teknologi modern, namun dari sini Iran justru menunjukkan bahwa negrinya bisa bangkit secara mandiri dan independen tanpa adanya dunia Barat. Is it the next Cold War? Kini permusuhan itu semakin nyata. Adanya konflik Palestina yang menguras banyak air mata umat Islam di penjuru dunia menjadi bukti nyata perseruan itu. Israel tetap mendapatkan dukungan Barat (AS) ketika Zionis Yahudi sekuat tenaga menghalangi terbentuknya negara Palestina merdeka. Barat juga berusaha membasmi gerakan-gerakan Islam seperti Hizbullah di Lebanon, Ikhwanul Muslimin di Mesir, Islamic National Front di Sudan, Partai Front Keselamatan Islam (FIS) di Aljazair, Taliban di Mesir, termasuk turut campur dalam revolusi Timur Tengah yang terjadi belakangan ini. Barangkali Barat khawatir akan pernyataan seorang orientalis bernama W.K Smith yang mengatakan bahwa, “apabila orang Islam diberikan kebebasan di dunia Islam serta hidup di bawah sistem demokrasi, maka sesungguhnya Islam akan mendapat kemenangan di negara-negara tersebut. Hanya dengan cara diktator sahaja yang boleh memisahkan antara umat Islam dan agamanya”. Banyak negara Barat yang terjangkit islamofobia (ketakutan pada Islam)[9]. 1 Juli 2009 lalu, sebuah peristiwa yang memilukan hati, menguras perasaan dan mengiris nurani. Namanya Marwa El-Sherbini, seorang ibu yang tengah mengandung janin 3 bulan asal Mesir. Ia bersama suaminya tinggal di German. Awalnya kehidupan berlangsung wajar. Tapi setelah pindah ke kota Dresden, ternyata kota itu tidak ramah bagi wanita berjilbab. Di depan umum, Marwa di dicaci maki dan ditarik kerudungnya oleh seseorang yang bernama Alex W, seorang keturunan Rusia. Tak ada satu pun orang yang menolong Marwa. Karena kelakuannya tersebut, Alex dihukum. Setelah lepas dari hukumannya, Alex mengajukan gugatan balik kepada Marwa, saat memberikan kesaksiannya di persidangan, ia di tikam 18 kali dalam 30 detik oleh Alex di depan suami dan anaknya, yang lebih memilukan lagi ibu itu tengah mengandung 3 bulan. Suaminya yang ingin menolong, ternyata justru ditembak oleh polisi persidangan. Entah itu karena disengaja ataupun meleset, motif penembakan tersebut sampai kini belum terkuak. Betapa peristiwa ini sangat memilukan hati umat muslim sedunia, pembunuhan memeras hati yang berkedok islamofobia. Oleh karenanya, warga Mesir dalam beberapa periode melakukan demo besar-besaran, dan kabar ini menjadi headline di media masa Mesir. Sementara Eropa, khususnya German yang selama ini menggaung-gaungkan HAM dan demokrasinya hanya bungkam seribu bahasa. Dan pada hari itu diperangati sebagai hari Jilbab sedunia. Agaknya memang sudah menjadi keniscayaan jika kebenaran dan kebatilan itu akan terus berseteru. Allah telah berfirman dalam Al-Qur’an QS. Al-Baqarah: 120, “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka…” dan dalam QS. Al-Baqarah: 217 yang menyebutkan, “…Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran)…” Maka, inikah perang dunia selanjutnya?

Senin, 13 Februari 2012

Antara Syukur dan Kufur

Jika manusia mau sedikit merenung dan berpikir lebih dalam, maka manusia akan menemukan sebuah kenyataan bahwa Allah SWT lebih banyak memberi mereka nikmat dibandingkan cobaan, penderitaan, kesulitan, dan sejenisnya yang manusia anggap sebagai sesuatu yang tidak enak atau tidak nyaman. Allah SWT berfirman: “Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allâh, tidaklah dapat kamu menghitungnya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zhalim dan sangat mengingkari (nikmat Allâh)”. (QS Ibrahim: 34) Maka, jikalau manusia mengingat dan mencoba menghitung nikmat Allah SWT, niscaya manusia tidak pernah mampu berhenti untuk mensyukuri nikmat Allah yang telah Allah berikan. Seluruh tumbuhan dan air lautan dijadikan sebagai pena dan tinta tidak akan cukup untuk menulis nikmat Allah. Sepanjang umur manusia seharusnya dipenuhi dengan rasa syukur, bahkan mungkin seluruh umur manusia tidak akan cukup untuk mensyukuri nikmat Allah yang sangat banyak. Pernahkah manusia menanyakan harga Oksigen di Apotik? Jika belum tahu, harganya ± Rp 25.000/ltr. Pernahkah manusia menanyakan harga Nitrogen di apotik? Jika belum tahu, harganya ± Rp 9.950/ltr. Tahukah, bahwa dalam sehari manusia menghirup 2880 ltr Oksigen & 11.376 ltr Nitrogen. Jika harus dihargai dengan rupiah, maka Oksigen & Nitrogen yang kita hirup, akan mencapai kisaran ± Rp170.000.000 / hari / manusia. Jika kita hitung kebutuhan manusia sehari (untuk bernafas saja) Rp. 170 jt, maka sebulan Rp. 5,1M / orang. Tapi, kebanyakan manusia lebih ‘fokus’ dalam menyikapi cobaan, penderitaan, kesulitan, dan yang sejenisnya, sehingga hal itu terlihat seolah begitu besar. Kita sering mendengar, banyak manusia yang mengatakan “masalahku numpuk”. Tapi kita sangat jarang mendengar manusia mengatakan “nikmatku (dari Allah) numpuk”. Kemudian, karena terlalu memikirkan (mungkin lebih tepatnya meratapi) hal yang dianggap besar tersebut (sampai terbayang-bayang tiap jam, tiap menit, tiap detik, bahkan saat sedang sembah sujud padaNya), nikmat-nikmat dari Allah SWT yang begitu banyaknya bertaburan sering kali tertutupi begitu saja oleh ‘bayangan’ cobaan/penderitaan/kesulitan yang sebenarnya tak seberapa namun terlalu berlebihan dalam menyikapinya. Padahal bisa saja cobaan/penderitaan/kesulitan yang mereka alami adalah buah dari kelakuan manusia yang tidak sesuai dengan perintah Allah SWT, sunnah nabi Muhammad SAW, atau asas sebab-akibat. Perhatikan firman Allah SWT berikut ini: “Barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, maka dia tidak akan dibalas melainkan sebanding dengan kejahatan itu. Dan barangsiapa mengerjakan amal yang saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezki di dalamnya tanpa hisab”. (QS. Al Mukmin: 40). Perhatikan juga dengan seksama firman Allah SWT berikut ini: “Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi.” (QS. An Nissa: 79) Ilustrasi: ……………………….|…………………..…..|……………..……|……………….….. Keterangan gambar: Titik-titik adalah nikmat dari Allah SWT. Garis lurus adalah cobaan, penderitaan, kesulitan, dan sejenisnya. Ibnu Katsir mengatakan bahwa makna “Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah” adalah dari karunia dan kasih sayang Allah SWT. Sedangkan makna “dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” Berarti dari manusia sendiri dan dari perbuatan manusia sendiri. Dan berlebihan dalam menyikapi “garis lurus” (dalam gambar) itu, manusia terhalang dari mensyukuri nikmat, dan otomatis sangat berpotensi untuk kufur nikmat. Lagi-lagi, manusia banyak yang lalai dan berpura-pura lalai bahwa sikap seperti itu (kufur nikmat) dapat mengundang azab Allah SWT, dalam firmanNya Dia berkata: “Dan (ingatlah juga) ketika Rabbmu memaklumkan, ‘sesungguhnya jika kamu bersyukur pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim: 7)

gosip

Di gosok makin sip, itulah gosip. Sepertinya gosip sudah mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat kita. Mengetahui keburukan orang lain adalah sudah menjadi trend, sehingga saat di manapun dan sedang melakukan kegiatan apapun rasanya tidak afdhal jika tidak dibumbui dengan gosip. Gosip atau buah bibir atau desas desus adalah selenting berita yang tersebar luas dan sekaligus menjadi rahasia umum di publik yang kebenarannya diragukan atau merupakan berita negatif. Gosip identik dengan ibu-ibu atau kaum wanita, tetapi ternyata banyak juga kaum laki-laki yang menyukai gosip. Gosip biasanya menyebar dari mulut ke mulut. Bigos alias biang gosip adalah sebutan untuk mereka yang suka bergosip atau memperbincangkan orang lain. Bisa dipastikan Anda tidak akan mendapatkan manfaat apapun ketika Anda mengetahui keburukan orang lain. Anda tidak akan mendapatkan hadiah tetapi Anda justru akan mendapatkan image/pandangan tidak baik dari lingkungan sekitar Anda. Untuk masalah dosa atau pahala itu urusan Tuhan, tetapi menurut hemat saya semua agama pasti mengajarkan kebaikan dan tidak membenarkan ketika seseorang memperbincangkan keburukan orang lain. Saat bergosip, biasanya dilakukan dengan semangat dan menggebu-gebu, merasa dirinya paling benar, manusia paling suci, tidak pernah melakukan kesalahan apapun. Ibarat peribahasa “Semut yang jauh di seberang lautan tampak, sedangkan gajah di pelupuk mata tidak tampak”. Tapi pernahkah kita memikirkan apa akibatnya untuk orang yang sedang kita gosipkan? Pernahkah kita sedikit saja memikirkan perasaannya dan juga keluarganya. Dan bagaimana jika yang digosipkan itu adalah kita? Jika kita mengetahuinya, mungkin sedih, kecewa, marah, sakit hati, dan lain-lain. Ketahuilah seperti itu juga yang dirasakan oleh orang yang sedang kita bicarakan itu. Gosip yang berlebihan bisa menimbulkan efek negatif seperti, timbulnya fitnah, pertengkaran, putusnya silaturahim, dendam dan bahkan pembunuhan. Jika Anda termasuk orang-orang yang tidak suka gosip, pertahankan! Bagaimana cara menghindari gosip? Ini jawabnya: Tanamkan dalam diri kita bahwa kita tidak akan mendapatkan manfaat apapun dengan Anda mengetahui keburukan orang lain Pandai-pandailah membuat analogi. Jika yang dibicarakan itu adalah kita, bagaimana perasaan kita? Seperti itu juga perasaan orang yang sedang kita perbincangkan. Kemudian ingatlah juga, bagaimana perasaan orang tuanya terutama ibunya saat mengetahui anaknya menjadi buah bibir. Ingatlah Tuhan maha mendengar dan maha mengetahui apa yang dilakukannya oleh hambanya, dan balasan Tuhan itu pasti ada dan juga adil Saat pembicaraan kita sudah mulai mengarah ke gosip, segeralah putar arah ganti topik pembicaraan kita Jika kita bertemu dengan orang-orang yang kita anggap para bigos, sebisa mungkin hindari, tetapi tetap dengan menjaga hubungan baik dengan mereka. Cari celah untuk memasukkan nilai-nilai positif kepada mereka. Bergosip termasuk salah satu penyakit hati, jadi rajin-rajinlah beribadah agar penyakit hati tersebut tidak menjangkiti kita Gosip bisa menyebabkan retak dan hancurnya suatu hubungan

Aku Bosan Mengeluh

Allah, aku bosan mengeluh akan keadaanku ini. Keadaan yang Engkau ciptakan adalah untuk sebaik-baik makhluk. Kau beri aku kekurangan, tapi ketika ku Tanya kawan-kawan ternyata aku punya kelebihan. Maka, tak ada alasanku mengumbar kekurangan dan mencaci kelemahan. Allah, aku bosan mengeluh akan bentuk fisikku. Fisik yang engkau berikan padaku adalah sebaik-baik bentuk. Aku tak Engkau berikan bagian tubuh yang cacat. Aku pun masih dapat berfikir normal. Jika ku lihat di luar sana, masih banyak yang Engkau berikan ujian berupa bentuk fisik yang tak sempurna. Mereka mampu tersenyum, menjadikanku malu untuk mengeluh. Allah, aku bosan mengeluh akan hidupku. Karena yang Engkau titipkan adalah yang aku butuhkan. Jika aku berkata bahwa ini kurang dan itu kurang, sebenarnya adalah nafsuku yang berkata. Allah, aku bosan mengeluh tentang semua. Karena ketika aku mengeluh, maka akan terlontar perkataan-perkataan buruk yang aku tau bahwa perkataan sejatinya adalah doa. Maka jika aku mengeluh, sesungguhnya aku telah menciptakan boomerang untuk diriku sendiri. Allah, aku bosan mengeluh. Setelah ku pahami, kasih sayangMu yang tak terhingga. PemberianMu yang mengalir deras bak aliran sungai. Aku malu jika aku mengeluh. Aku seolah menjadi makhluk yang tak pernah berterimakasih. Allah, aku bosan mengeluh. Keluhan-keluhan yang ku lontarkan pada setiap orang yang ku temui akan menular menjadi keluhan-keluhan baru. Lalu, apa gunanya aku hidup? Jika yang aku bisa tularkan bukanlah semangat tapi selalu keluhan. Allah, aku bosan mengeluh. Memperlihatkan segala resah dan gundah pada semua orang. Yang mungkin tidak semua akan memahaminya, karena yang ku tahu masing-masing dari mereka juga memiliki beragam masalah. Allah, aku bosan mengeluh. Setelah ku sadari arti hadirMu. Bukan hanya suatu Dzat yang menciptakan alam semesta, tapi Engkau adalah sebaik-baik kawan yang selalu setia mendengar, memahami dan memberi solusi. Jadi, kepadaMu-lah sepantasnya semua keluhan terlontar. Allah, aku bosan mengeluh tatkala Engkau berikan apa yang bukan menjadi inginku. Karena aku tahu, bahwa Engkau lebih tahu aku daripada diriku sendiri. Engkau berikan ini meskipun terlihat buruk bagiku, tapi sebenarnya ada sesuatu yang luar biasa jika ku pahami dan ku pikirkan. Allah, aku bosan mengeluh. Karena tiap kali aku mengeluh, tanpa sadar aku telah mengejekMu secara tidak langsung. Mengejek ketidaksempurnaan ciptaanMu. Padahal Engkaulah sebaik-baik pencipta. Aku berharap Engkau tidak murka akan kelakuanku. Ampuni aku ya Rabb… Allah, aku bosan mengeluh. Tanpa sadar aku menjadi hamba yang kufur. Bisa saja Engkau langsung binasakan aku, tapi Engkau Maha Pengasih dan Maha Pengampun. Aku yang senantiasa membutuhkanMu bukan sebaliknya. Kau beri aku kesempatan untuk memohon ampun. “Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu: “Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”” (QS. Luqman: 12) “Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (QS. Luqman: 17) “Dan Musa berkata: “Jika kamu dan orang-orang yang ada di muka bumi semuanya mengingkari (nikmat Allah) maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”” (QS. Ibrahim: 8) “Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS. Ar Rahman: 21)

Menghancurkan Rasa Malas

semua manusia yang terlahir di dunia ingin mendapatkan kebahagiaan dan kesuksesan. Ternyata tidak semua manusia bisa mendapatkannya, dan mereka – mereka yang tidak berhasil mendapatkan kebahagiaan dan kesuksesan rata-rata bukan karena takdir, bukan karena miskin dan bukan karena nasib. Tapi mereka gagal mendapatkan kebahagiaan dan kesuksesan dalam hidup karena rasa MALAS yang mereka miliki. Rasa malas adalah musuh utama kita, dalam usaha mencapai kebahagiaan dan kesuksesan dalam hidup. Bila kita telaah lebih jauh, sebenarnya rasa malas situ bukan berasal dari kita, tapi berasal dari godaan syetan kepada manusia. Tujuannya agar manusia jauh dari kesuksesan, sehingga jika orang tidak sukses, maka akan mudah mengalami frustasi, stress, galau dan akhirnya puncaknya melakukan kemaksiatan paling bodoh yaitu bunuh diri, Na’udzubillah. Kalau kita perhatikan apabila melihat maaf, misalnya mereka yang berprofesi sebagai kuli atau tukang becak, sesungguhnya dalam diri mereka pastilah bukan profesi itu yang mereka inginkan. Tapi kenapa mereka menjadi seperti itu, maka lihat lah masa lalu mereka, kemungkinan mereka menghabiskan masa lalu mereka dengan bermalas-malasan. Karena Allah itu maha kaya, dan Allah akan merubah keadaan suatu kaum apabila kaum tersebut benar-benar niat merubah dirinya. Ada sebuah bukti, rekan di tempat kerja penulis memiliki masa lalu menjadi orang yang sangat miskin, walaupun miskin, rekan kerja penulis tidak memiliki mental miskin, dia berusaha merubah nasibnya dengan cara belajar sungguh- sungguh, mati – matian sampai titik darah penghabisan. Akhirnya karena ketekunan dan kerja keras nya, dia mendapatkan beasiswa saat sekolah di Sekolah Dasar, SMP, SMA dan sampai S2 di UGM. Cerita tersebut membuktikan bahwa, yang menyebabkan orang terpuruk masa depannya bukan karena Nasib atau takdir tapi karena rasa malasnya lebih kuat dari semangatnya. Seorang ahli Matematika Phytagoras berpesan untuk kita semua, “Wahai anak muda, jika engkau tidak sanggup menahan lelahnya belajar, engkau harus menanggung pahitnya kebodohan.” Wow sebuah pesan yang sangat “nampol” bukan. Oleh karena itu mari kita berusaha menghancurkan rasa malas dalam diri kita. Mungkin ada yang bertanya, bagaimana cara menghilangkan rasa malas? Sahabat sekalian, sesungguhnya rasa mala situ ada nya hanya di pikiran kita saja, jadi rasa malas hanyalah permainan pikiran. Rasa malas seperti binatang peliharaan, jika terus di ikuti maka rasa malas akan menjadi besar dan tambah besar. Maka cara terbaik jika kita malas belajar ialah dengan cara kita belajar, malas shalat ya shalat, malas ngaji ya ngaji, maka ketika kita mau mendobrak rasa malas kita di awal maka ke depannya rasa malas tersebut akan hilang. Jika hari ini malas belajar, maka tetaplah belajar namun dengan frekuensi yang lebih sedikit, dan “Janganlah belajar menunggu semangat, tapi belajarlah maka kalian akan semangat” seorang penulis novel yang berhasil menulis ratusan halaman, mereka menulis tidak menunggu inspirasi, tapi mereka tetap menulis walaupun inspirasi belum muncul, karena inspirasi akan muncul selama proses dan perjalanan bukan diawal. Dan cara terakhir yang bisa di tempuh ialah berdoa kepada Allah agar kita di jauhi rasa malas, dan berdoa agar selalu di berikan motivasi setiap saat. Doa yang Rasulullah ajarkan ialah : “Allahuma inni a’udzubika minal hamni wal hazan, wa udzubika minal jubni wal Buhl, wa’udzubika min gholabatiddhaini wa khorririjaal”, “wahai Allah Sungguh Aku Berlindung pada Mu dari Gundah dan Sedih, juga dari Lemah dan Malas, dan dari Kikir dan penakut, dan dari himpitan utang dan penindasan orang lain” (Shahih Bukhari). Mari sahabat, kita sama-sama berusaha hancurkan rasa malas dalam diri kita, agar kita tidak menyesal di kemudian hari. Su

Hidup Untuk Ibadah

“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyaat: 56) Saudaraku, Hadirnya kita di dunia ini adalah untuk menyembah Allah SWT. Betapa lemahnya kita sebagai seorang hamba. Jantung, paru-paru, hati, peredaran darah, usus, lambung dan segala organ dalam tubuh kita sendiri kita tak punya kuasa untuk mengaturnya. Semuanya bekerja berdasarkan perintah dari yang menciptakannya. Betapa bergantungnya kita kepada Allah SWT, dan sepantasnyalah kita tiada pernah sombong walau sedetikpun. Umur kita sampai saat ini juga merupakan kemurahan pemberian Allah SWT Saudaraku, Kenapa belum juga tergerak hati kita untuk kembali kepada Allah. Memantapkan azzam kita menjadi hamba pengabdi, yang selalu memberikan amal terbaik kepada sang pencipta. Semua energy yang kita miliki, hendaknya dipergunakan sebanyak-banyaknya untuk kemaslahatan perjalanan kita menuju ridha-Nya. Ketahuilah, perjalanan kita tak selamanya mulus. Selalu ada riak-riak yang menyebabkan perjalanan tersendat. Maka siapkan bekal sebanyak-banyaknya untuk hilangkan kepenatan dan kelelahan. Seorang hamba tiada pernah beristirahat mempersiapkan bekalnya, sebelum perjalanan yang panjang harus berakhir. Sungguh merugi mereka yang mengisi hari tanpa beramal. Melewati hari tanpa ibadah. Bukankah perjalanan kita pasti akan berakhir? Maka bagaimana mungkin dalam perjalanan selanjutnya kita tak mempersiapkan bekal? Ingat sahabat, kita bukan hewan dan tumbuhan, yang kehadirannya hanya di dunia ini saja. Maka wajar kalau kerjaan mereka hanya makan, tidur dan kawin. Mereka tidak mempertanggungjawabkan apa yang mereka lakukan di dunia ini. Sementara kita diberikan akal pikiran untuk mencapai kesempurnaan pengabdian. Betapa banyak kita temui mereka yang menjalani aktivitas kehidupan tak ubahnya aktivitas yang dilakukan binatang. Makan, minum, kawin. Roda kehidupannya senantiasa berputar di kisaran aktivitas itu. Tanpa aktivitas lain. Tanpa ibadah, tanpa amal, tanpa baca Qur’an, tanpa shalat, tanpa amal sosial dan tanpa aktivitas mengabdikan diri pada Tuhannya. Sungguh menyedihkan, hidup yang singkat ini diisi dengan tidur-tiduran. Diisi dengan aktivitas keduniaan tanpa menyisakan sedikit pun aktivitas menjemput pundi amal untuk dibawa ke negeri akhirat. Bukankah akhirat itu kekal, tiada berakhir? Surga terlalu sayang dilewatkan dengan mengisi hidup tanpa amal. Maka selagi nafas masih di kerongkongan, mari beramal dengan penuh kesungguhan. Ada begitu banyak peluang amal yang Allah sediakan setiap harinya, yang sayang sekali untuk dilewatkan. Jangan jadi orang yang miskin di akhirat nanti karena ketiadaan bekal amal yang dibawa. Jangan sampai kita jadi orang yang menderita di dunia dan terlempar ke neraka. Jadilah pribadi bahagia di dunia, sentosa di surga. Lenyapkan segera riak-riak kemalasan. Lempar jauh-jauh kelalaian. Mari genggam surga dengan cinta pada sang Pencipta. Rengkuh keridhaanNya dengan amal terbaik yang mampu kita persembahkan. Setiap perputaran waktu adalah masa dimana memutarkan amal-amal terbaik yang sanggup kita kerjakan .Sudah saatnya kita kembali ke jalur penciptaan yang sesungguhnya. Cukuplah dosa yang kita lakukan di masa lalu, sebagai kenangan kekonyolan kita sebagai seorang hamba. Kita perbaiki dan tutupi lubang-lubang aibnya dengan amal terbaik kita. Mari bersama buat sejarah kehidupan yang dipenuhi dengan amal unggulan. Sejarah kehidupan yang dipenuhi dengan amal kebaikan kepada siapa pun. Setiap kita pasti ditanya tentang apa yang kita dilakukan di dunia. Maka selagi ada waktu dan nafas masih di tenggorokan tak ada waktu terlambat untuk kembali berlayar, mengudara, menempuh perjalanan untuk menjemput pundi-pundi pahala yang Allah sediakan. Setiap kita istimewa, maka jadilah pribadi istimewa di hadapan manusia, terlebih di hadapan sang Pencipta.

Minggu, 12 Februari 2012

Muda-Mudi Islam & Valentine’s Day (VD)

Seiring dengan maraknya ragam gaya hidup Barat yang masuk ke dunia Islam. Sebagai salah satu dampak dari globalisasi dunia. Menyebabkan banyak remaja muslim di belahan dunia tak mampu berkutik dibuatnya. Gaya hidup Barat yang tidak lepas dari glamour serta konsumtif sebagai cerminan modernitas tersebut, mampu mengguncang peradaban Islam. Terutama para remaja muda-mudi. Salah satu dari budaya Barat yang merasuki remaja muslim hingga dijadikan trendsetter tersebut ialah sebuah perayaan yang jatuh pada tanggal empat belas februari, yang populer dengan sebutan nama “valentine’s day” atau “hari kasih sayang”. Valentine’s day dimaknai dengan kasih sayang atau hari dimana pasangan kekasih muda-mudi Barat yang sedang jatuh cinta mengungkapkan rasa kasih sayang mereka kepada pasangan masing-masing yang diekspresikan dengan saling bertukar kado, coklat, dan bunga mawar, atau yang lebih populer dengan bertukar kartu valentine berbentuk hati (love) yang dihiasi dengan sebuah gambar Copidu (si bayi kecil bersayap dengan busur lengkap dengan anak panah di tangan). Sebagai sebuah perayaan, valentine’s day yang Jika kita mau menilik lebih jauh tentang asal muasal dari perayaan ini, maka kita akan menemukan berbagai versi di dalamnya yang dapat membuktikan bahwa perayaan valentine’s day memiliki latar belakang yang tidak jelas sama sekali. Bahkan bisa dikatakan hanya berasal dari sebuah mitos belaka dengan merujuk sebuah nama martir (Islam=syuhada) yang bernama valentinus atau santo valentinus yang hari matinya kebetulan bertepatan pada tanggal empat belas februari yang kemudian oleh Paus Gelasius I dijadikan hari perayaan bagi kaum nasrani. (Silakan adakan riset dengan prof. Google) Namun tabiat muda-mudi yang selalu latah akan kebudayaan Barat (kaum nasrani) yang jauh dari syariat Islam, Valentine’s Day selalu menjadi momen tersendiri bagi mereka setiap tahun-Nya. Dari sekedar mengucapkan selamat hari valentine sampai ikut langsung melakoni hal serupa dengan mereka kaum kafir tersebut. Hal ini karena sebahagian remaja atau muda-mudi muslim telah menganggap yang satu ini sebagai trend masa kini, yang jika tidak ikut merayakannya bisa dianggap kuno, ketinggalan zaman, atau kampungan (wong ndeso). Sebahagian mereka ada yang hanya ikut-ikutan tanpa mengetahui story behind perayaan tersebut. Namun tidak sedikit pula sebahagian mereka sebenarnya mengetahui kalau Valentine’s Day adalah budaya non muslim tapi karena alasan gengsi (jika tidak ikut merayakan) mereka tidak mau tahu. Islam sangat melarang umatnya dari sikap tasyabuh (menyerupai budaya atau gaya hidup non muslim) baik dari segi ucapan, tingkah laku, atau cara bermode. Firman Allah dalam surah Al-Isra’:“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya. (Al-isra’:36) Kemudian dalam surah Al-An’am:”Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang di bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Yang mereka ikuti hanya persangkaan belaka dan mereka hanyalah membuat kebohongan. (QS. Al-An’am: 116) Serta sabda Nabi SAW:” Barang siapa meniru suatu kaum, dia termasuk kelompok mereka,” (HR. Ahmad dan Abu Dawud). Sangat jelas di muka bahwa hari Valentine adalah perayaan atau ritual kaum nasrani, jika kita ikut Merayakannya berarti kita telah meniru-niru mereka. Selain tasyabuh, dalam perayaan Valentine’s Day jika kita saksikan sekarang ini adalah cara pengekspresian cinta kasih yang dibaluti dengan Fenomena pacaran, zina, mabuk-mabukan, serta foya-foya yang intinya terlalu mengedepankan nafsu syahwat semata. Cara mengekspresikan cinta kasih inilah yang sangat bertentangan dengan ajaran Islam jika kita memandang perayaan ini melalui perspektif Islam. Sungguh merupakan sebuah kekurangcerdasan jika kita sebagai generasi Islam ikut melestarikan budaya yang sama sekali tidak memiliki ikatan historis, emosional, dan religius sedikit pun dengan ajaran Islam. Keikutsertaan kita dalam perayaan yang identik dengan hura-hura dan maksiat ini merupakan refleksi sebuah kekalahan dalam peperangan mempertahankan identitas jati diri kita sebagai pemeluk Islam. Sebagai generasi muda muslim, selain kita dituntut melek teknologi dan ilmu pengetahuan akibat buntut kemajuan zaman, kita juga dituntut mampu memfilterisasi diri serta lingkungan atau budaya kita dari integritas budaya asing. Jangan mudah terbawa deras arus modernisasi yang cenderung menyesatkan. Jangan sampai kita sebagai umat Islam hanya bagai buih di lautan, banyak namun mudah terombang-ambing, banyak namun tak memiliki arti. Hal semestinya yang harus kita lakukan di zaman serba kompleks ini wahai saudaraku adalah kembali merapatkan jiwa dan kesadaran kita masing-masing ke dasar ajaran agama kita, kembali ke ajaran Islam yang sesungguhnya, mendekatkan diri kepada Allah, serta membekali diri ini dengan tembok pengetahuan agama yang mumpuni, tanpa mengabaikan pengaplikasiannya dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai generasi Islam, kita harus berusaha sekuat yang kita mampu untuk mengimplementasikan ajaran Islam dalam kehidupan kita di masyarakat, dalam muamalah sehari-hari. Agar ruh ajaran Islam tak terkontaminasi oleh budaya-budaya asing yang terbukti hanya menimbulkan keresahan dalam masyarakat muslim. Semoga kita semua diberikan kemampuan untuk meninggikan kalimat Allah di medan perjuangan yang semakin hari semakin kompleks ini sesuai dengan background kita masing-masing. Amin yaa robbal ‘alamin. Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/02/18508/muda-mudi-islam-valentines-day-vd/#ixzz1mAXGxPcW

Sepetak Waktu di Sepenggal Usia

“Tidak akan tergelincir dua kaki anak Adam pada hari kiamat hingga ia ditanya tentang empat perkara: tentang usianya untuk apa ia habiskan, masa mudanya untuk apa ia habiskan, hartanya dari mana ia peroleh dan ke mana ia belanjakan, dan tentang ilmunya apa yang diperbuatkan dengan ilmunya tersebut”. (HR. Al-Bazzar dan Al-Thabrani). Bismillahirrahmanirrahim. Senja itu, masih selalu saja terkenang dalam ingatan, sebuah senja yang tenang dengan bau segar rerumputan. Di hadapan sebuah kolam dengan hamparan teratai bermekaran, beberapa pemuda dengan gagah berlarian; tergopoh-gopoh membawa tas penuh makanan; kemudian duduk dan membentuk sebuah lingkaran. Pada sebuah tanah lapang yang melandai, di kaki perbukitan yang ramai oleh kabut, hawa sejuk, dan sesekali, rintik gerimis pembawa harapan, serta gumpal awan yang menahankan sebuah kerinduan, tawa sesekali terdengar berderai dari lidah mereka yang sesekali berceloteh, berbagi makanan. Tenda-tenda nampak rapih didirikan. Kemudian sebuah antrian tercipta menghadirkan sebuah pemandangan yang menenangkan luar biasa, tentang insan-insan yang mematutkan pada wajah mereka cahaya-cahaya, yang terpancar dari basuhan air wudhu, dan keinginan untuk bersujud di hadapan Rabb yang selalu memberi mereka Rezeki dan Kebaikan tiada habisnya. Rabb Yang menciptakan barisan gunung-gunung yang bertasbih, langit yang meluas, dan semesta kasih. Rabb Yang, tanda-tandanya selalu terasa oleh mereka yang hatinya tulus dan bersih. Tibalah waktunya muda-mudi itu berbaris rapih, duduk membentuk shaf-shaf yang membuat malaikat manapun cemburu lirih; betapa tidak? Di saat belia seusia mereka menghabiskan waktu berbelanja di mal-mal dan tempat hiburan, atau menghabiskan waktu mendengarkan nyanyian, tertawa karena permainan-permainan, sekelompok muda-mudi ini bertaqarub, mendekatkan diri mereka pada Allah dengan mentafakuri ayat-ayat ciptaanNya. Kemudian bersabar mengejar ilmuNya. Pantaslah jika pada saat itu, saya terkenang pada sebuah hadits tentang hari akhir, yang ditakhrij oleh Imam Al-Bazzar dan At-Thabrani, dari Mu’adz Ibn Jabal R.A, bahwa Rasulullah SAW yang lidahnya selalu jujur dan tak pernah sekalipun berdusta, berkata bahwa pada hari akhir nanti, anak-anak Adam ini tidak akan beranjak dari hadapan Rabbnya, kecuali setelah ditanya kepadanya tentang 4 perkara; tentang usianya, masa mudanya, hartanya, dan ilmunya. Di Gunung Salak, pada senja itu, pada kesempatan LDKR Runners SMKN 26 Jakarta, kami berdiskusi dan berbagi, diselingi dengan permainan-permainan menyenangkan yang bisa diambilkan ibrahnya, dibahas tentang bagaimana hadits di atas bisa menjadi sebuah motivasi untuk menghargai usia dan rezeki, dengan senantiasa mengejar ridha dan menyebar kebaikan dari Rabb Yang Maha Memberi. “Tidak akan tergelincir dua kaki anak Adam pada hari kiamat hingga ia ditanya tentang empat perkara: tentang usianya untuk apa ia habiskan, masa mudanya untuk apa ia habiskan, hartanya dari mana ia peroleh dan ke mana ia belanjakan, dan tentang ilmunya apa yang diperbuatkan dengan ilmunya tersebut” (HR. Al-Bazzar dan Al-Thabrani). Pada hari itu, diingatkan bahwa, hidup ini adalah sebuah ujian, ujian untuk sebuah keabadian [1], dimana hanya akan ada dua pilihan; kebahagiaan berkekalan, atau kesengsaraan tiada terperi. Di akhir ujian itu, setelah bumi diguncangkan, dan manusia-manusia yang telah mati dibangkitkan, Rabb akan hadir dan malaikat berbaris-barisan, neraka akan ditampakkan; dan manusia-manusia ketakutan dan akan menyesal karena tidak pernah bersungguh-sungguh saat mengejar kebaikan. [2] Pada detik-detik yang menegangkan tersebut, di hadapan semesta dan penduduk langit maupun bumi, semua hadir sejak awal generasi, akan ditanyakan pada kita tentang empat perkara itu, empat perkara itu! Empat perkara yang kita akan malu karena tidak pernah kita manfaatkan dengan lebih baik. Empat perkara yang karenanya tidak akan berhenti tangis kita, karena menahan sesal dan rasa malu yang luar biasa. Empat perkara yang adalah Usia, Masa Muda, Harta, dan Ilmu kita. 1. Usia Apa yang telah kita lakukan sejak kelahiran kita? Apa yang telah kita berikan kepada mereka yang menjadi tanggung jawab kita? Anak-anak kelaparan yang meminta-minta di sepanjang perempatan yang bisa kita temukan di sekitar Jakarta. Pengamen-pengamen di Galur, atau keluarga gerobak yang tidak se-beruntung kita yang selalu memiliki sahabat-sahabat yang baik, pendidikan yang layak, dan juga tempat bernaung? Tidakkah kita mensyukuri usia kita yang telah Allah penuhi dengan serba kecukupan? Tidakkah kita ingat bahwa kita di atas bumi ini adalah khalifah, manajer yang bertanggung jawab atas kesejahteraan dan keselamatan seluruh penghuninya? [3] Apa yang akan kita jawab di hadapan Rabb kita dan para malaikatNya nanti? Serta barisan manusia yang menanti di belakang kita? Sanggupkah jika kita harus berkata, “Usia hamba, sejak hamba lahir hingga Engkau cabut nyawa hamba pada saat mati, hanya hamba pergunakan memikirkan kepentingan diri sendiri. Hamba mematut-matut diri di hadapan cermin selama berjam-jam tanpa memikirkan tetangga-tetangga hamba yang belum memiliki pakaian. Hamba mengejar karir dan capaian tanpa memikirkan tetangga-tetangga hamba yang masih kelaparan. Hamba menolak menyisihkan usia hamba untuk mentafakuri dosa-dosa dan pengkhianatan yang setiap hari hamba lakukan di hadapMu yaa Rabb. Bahkan hamba abai terhadap misteri-misteri kehidupan yang sebenarnya tercatat dengan rapih pada ayat-ayatMu. Hamba menghabiskan usia hamba untuk menghinakan diri hamba dengan mengkhianatiMu.” Ah, terbayangkan tangis yang berderai sebab betapa malunya kita jika kelak harus mengatakan yang seperti itu, na’udzubillah min dzalika. 2. Masa Muda “Ada tujuh golongan manusia yang akan mendapat naungan Allah pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya: Pemimpin yang adil. Pemuda yang menyibukkan diri dengan ibadah kepada Rabbnya. Lelaki yang hatinya terpaut dengan masjid. Dua orang yang saling mencintai karena Allah; mereka tidak bertemu dan tidak juga berpisah kecuali karena Allah. Lelaki yang diajak (berzina) oleh seorang wanita yang mempunyai kedudukan lagi cantik lalu dia berkata, ‘Aku takut kepada Allah’. Orang yang bersedekah dengan sembunyi-sembunyi, hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya. Orang yang berdzikir kepada Allah dalam keadaan sendiri hingga kedua matanya basah karena menangis.” (HR. Al-Bukhari no. 620 dan Muslim no. 1712) Masa muda menjadi sorotan tersendiri dalam Islam dan ajarannya, terbukti ketika, meskipun Allah swt telah bertanya kepada anak-anak Adam tentang usianya, Allah masih juga secara khusus menanyakan tentang masa muda. Hal ini dapat kita pahami dengan mudah melihat adanya potensi yang luar biasa dari masa muda. Pada masa inilah seorang muslim dan manusia manapun yang ada di dunia, membentuk karakter dan jati dirinya. Akan sulit bagi seseorang yang terbiasa bermalas-malasan pada usia mudanya, untuk menjadi pekerja keras ketika mereka tua. Juga tidak mudah bagi mereka yang terbiasa bekerja keras dan belajar pada masa muda, jika harus menjadi seorang pemalas yang kehilangan gairah pada masa tua. Masa muda, bisa dibilang, adalah sepenggal usia dalam sebuah perjalanan kehidupan setiap manusia yang, nyaris menentukan segalanya. Bersahabatlah kita pada masa muda dengan orang-orang yang tidak dapat memberikan manfaat dunia akhirat bagi kita, mungkin setidaknya kita dapat bertahan untuk tidak terjerumus pada keburukan, tapi kelak kita akan menyesal karena seharusnya dapat mengumpulkan modal kebaikan lebih banyak untuk kita bagi-bagikan. Berleha-lehalah kita pada masa muda dengan kesenangan-kesenangan, mungkin kelak kita masih akan mampu menghadirkan kesenangan yang sama pada masa tua, tapi bisa jadi kita akan terjebak pada pertanyaan-pertanyaan tentang tujuan hidup dan kebingungan akan makna kebahagiaan yang sejati. Ya, kesenangan tidak akan pernah dapat memuaskan jiwa manusia, yang manusia cari adalah ketenangan, dan bekerja keras mencari makna kebahagiaan pada masa muda, dapat membantu menghadirkan ketenangan tersebut. Sebuah perbedaan kecil yang dilakukan secara terus-menerus dalam jangka waktu yang cukup lama, selalu menghadirkan perbedaan-perbedaan besar. Bijak adalah berhati-hati dan selalu mengevaluasi apa yang kita lakukan pada masa muda kita. Tidak perlu dijalani dengan terlalu kaku, sesekali refreshment dan istirahat juga diperlukan. Tapi ingatlah untuk selalu memaksimalkan manfaat, sebab selain itu berpengaruh pada masa depan kita serta masa depan ummat, ternyata masa muda kita juga kelak akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah SWT. 3. Harta Dari mana kita dapatkan harta kita? Dari sumber-sumber pendapatan yang halal kah? Atau kita mendapatkan harta kita tanpa memperhatikan apakah Allah akan ridha atau tidak? Pada proses pencarian pendapatan, adakah tercampur di dalamnya maksiat? Adakah pernah kita menyakiti perasaan saudara kita atas amanah yang tidak kita tuntaskan dengan baik dalam pekerjaan, atau sikut kiri sikut kanan hanya untuk mencari muka, posisi dan jabatan? Adakah tanpa sengaja kita mengundang kecemburuan Allah dengan interaksi yang berlebihan dengan rekan kerja non mahram? Atau lalai mengingatNya karena sibuk meraup rezeki? Na’udzubillah min dzalika. Lebih jauh lagi, untuk apa kita pergunakan harta kita? Adakah untuk kesenangan sesaat, atau kita pergunakan untuk menolong agama Allah dan mensucikan diri kita? Berusaha menjadikan diri kita orang-orang yang mendapatkan petunjuk dari Al-Qur’an agar termasuk ke dalam golongan mereka yang selalu bertaqwa? [4] Adakah terpikirkan dalam cita-cita kita untuk menjadi seperti Abdurrahman Ibn Auf, yang bergelimang harta yang berkah dan disedekahkan demi pembangunan dan kesejahteraan Madinah? Adakah terbesit dalam hati kita bahwa usia ini akan diinfakkan untuk Jihad di JalanNya dengan cara memanfaatkan masa muda mengumpulkan keahlian yang kelak dapat digunakan untuk mengumpulkan harta yang dapat kita pergunakan mendirikan pesantren-pesantren modern? Dimana anak-anak yang kurang beruntung dapat mempelajari Arsitektur, Tata Kota, Ilmu pemerintahan, Sastra, Teknologi; agar kelak mereka menjadi sumber daya manusia yang turut membangun kembali Jakarta yang mulai nampak tua dan lelah oleh amarah yang hadir dari kemacetan juga kemiskinan? Apa yang akan kita jawab di hadapan Rabb kita nanti ketika Dia bertanya tentang harta kita? Semoga kita akan mampu memberi jawaban yang baik. Jangan sampai kita menanggung malu nanti, na’udzubillah min dzalika. 4. Ilmu Ilmu yang kita dapati, dipergunakan untuk apakah ia? Adakah ia kita jadikan koleksi dan kita hamburkan untuk caci maki kepada mereka yang kita anggap tidak lebih berilmu daripada kita? Ataukah kita jadikan senjata yang menguatkan kasih sayang dan perhatian yang kita miliki kepada mereka yang terlantar dan kelaparan? Hadir dan menjelma api yang menghangatkan mereka yang sehari-hari menggigil dan kedinginan? Dijadikan tetes-tetes air jernih oleh kerongkongan mereka yang sehari-hari kehausan? Bukankah kita ini hamba-hamba Ar-Rahman? Yang kasihnya menyemestakan ampunan? Bukankah kita mengasihi saudara-saudara kita sebagaimana kita mengasihi diri kita sendiri? Bukankah kita mencintai Rasulullah yang bahkan di penghujung hayatnya sekalipun, masih saja memikirkan ummat yang dikasihinya? Tidakkah kita ingin menyunggingkan senyum di bibir Rasulullah yang kita rindukan, berbincang-bincang dengannya di selasar-selasar puncak tertinggi Jannah, membicarakan betapa ilmu yang beliau wariskan telah berhasil kita jadikan tonggak yang menegakkan peradaban? Dengan izin Allah, kita telah membangun perusahaan-perusahaan yang membuka banyak sekali lapangan pekerjaan, membebaskan lahan-lahan pertanian untuk digunakan memenuhi kebutuhan pangan, menstabilkan harga makanan? Mendidik anak-anak dari mereka yang tadinya kelaparan sehingga mampu memikirkan cara-cara memenuhi kebutuhan? Tidakkah kita ingin di hadapan Mizan, kelak, ketika Allah menanyakan tentang ilmu kita, kita mampu bersitatap manja, dengan perasaan bangga, di hadapan Rabb kita, dengan mengatakan bahwa ilmu titipanNya telah kita pergunakan untuk membuktikan kepadaNya, bahwa kita adalah hambaNya, hamba dari yang Maha Cinta kepada hambaNya? “Tidak akan tergelincir dua kaki anak Adam pada hari kiamat hingga ia ditanya tentang empat perkara: tentang usianya untuk apa ia habiskan, masa mudanya untuk apa ia habiskan, hartanya dari mana ia peroleh dan ke mana ia belanjakan, dan tentang ilmunya apa yang diperbuatkan dengan ilmunya tersebut” (HR. Al-Bazzar dan Al-Thabrani). Bersamaan dengan berakhirnya diskusi, senja hari itu pun turun, tergantikan malam yang terhadir anggun. Luruh bersama kerak-kerak kesombongan, tergantikan telaga-telaga penyesalan. Kami, muda-mudi Runners saat itu, diam-diam menanamkan tekad dalam dada, berazzam dihadap Rabbana, berdoa, semoga ketika hadir pertanyaan serupa, kami telah melewati segalanya dengan hanya mengejar ridhaanNya, sehingga mampu hati kami bersaksi, “Radhitu billahi Rabba, wa bil islami diena, wa bimuhammadiwwarasula.” Semoga kelak, Rabb kemudian akan berkata, “Wahai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Rabbmu dengan hati yang puas lagi diridhaiNya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hambaKu. Dan masuklah ke dalam surgaKu.” [5] Betapa senja itu, adalah sepetak waktu di sepenggal usia, yang semoga tak pernah terlupa. Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/02/18439/sepetak-waktu-di-sepenggal-usia/#ixzz1mAVCYs86

Tiada hari tanpa ngobrolin cinta…

Meski tidak semua orang mengetahui apa makna cinta yang sesungguhnya namun mereka seakan tak pernah lelah dan bosan untuk membicarakan cinta ataupun sesuatu yang berkaitan dengan cinta. Makna cinta pun terus digali dari zaman ke zaman seakan tak ada habisnya. Sebenarnya apa itu “Cinta Sejati” dan bagaimana pandangan Islam terhadapnya? Alhamdulillah, shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya. Masyarakat di belahan bumi manapun saat ini sedang diusik oleh mitos ‘Cinta Sejati’, dan dibuai oleh impian ‘Cinta Suci’. Karenanya, ramai-ramai, mereka mempersiapkan diri untuk merayakan hari cinta “Valentine’s Day”. Pada kesempatan ini, saya tidak ingin mengajak saudara menelusuri sejarah dan kronologi adanya peringatan ini. Dan tidak juga ingin membicarakan hukum mengikuti perayaan hari ini. Karena saya yakin, Anda telah banyak mendengar dan membaca tentang itu semua. Hanya saja, saya ingin mengajak saudara untuk sedikit menyelami: apa itu cinta? Adakah cinta sejati dan cinta suci? Dan cinta model apa yang selama ini menghiasi hati Anda? Seorang peneliti dari Researchers at National Autonomous University of Mexico mengungkapkan hasil risetnya yang begitu mengejutkan. Menurutnya: Sebuah hubungan cinta pasti akan menemui titik jenuh, bukan hanya karena faktor bosan semata, tapi karena kandungan zat kimia di otak yang mengaktifkan rasa cinta itu telah habis. Rasa tergila-gila dan cinta pada seseorang tidak akan bertahan lebih dari 4 tahun. Jika telah berumur 4 tahun, cinta sirna, dan yang tersisa hanya dorongan seks, bukan cinta yang murni lagi. Menurutnya, rasa tergila-gila muncul pada awal jatuh cinta disebabkan oleh aktivasi dan pengeluaran komponen kimia spesifik di otak, berupa hormon dopamin, endorfin, feromon, oxytocin, neuropinephrine yang membuat seseorang merasa bahagia, berbunga-bunga dan berseri-seri. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, dan terpaan badai tanggung jawab dan dinamika kehidupan efek hormon-hormon itu berkurang lalu menghilang. Wah, gimana tuh nasib cinta yang selama ini Anda dambakan dari pasangan Anda? Dan bagaimana nasib cinta Anda kepada pasangan Anda? Jangan-jangan sudah lenyap dan terkubur jauh-jauh hari. Anda ingin sengsara karena tidak lagi merasakan indahnya cinta pasangan Anda dan tidak lagi menikmati lembutnya buaian cinta kepadanya? Ataukah Anda ingin tetap merasakan betapa indahnya cinta pasangan Anda dan juga betapa bahagianya mencintai pasangan Anda? Saudaraku, bila Anda mencintai pasangan Anda karena kecantikan atau ketampanannya, maka saat ini saya yakin anggapan bahwa ia adalah orang tercantik dan tertampan, telah luntur. Bila dahulu rasa cinta Anda kepadanya tumbuh karena ia adalah orang yang kaya, maka saya yakin saat ini, kekayaannya tidak lagi spektakuler di mata Anda. Bila rasa cinta Anda bersemi karena ia adalah orang yang berkedudukan tinggi dan terpandang di masyarakat, maka saat ini kedudukan itu tidak lagi berkilau secerah yang dahulu menyilaukan pandangan Anda. Saudaraku! Bila Anda terlanjur terbelenggu cinta kepada seseorang, padahal ia bukan suami atau istri Anda, ada baiknya bila Anda menguji kadar cinta Anda. Kenalilah sejauh mana kesucian dan ketulusan cinta Anda kepadanya. Coba Anda duduk sejenak, membayangkan kekasih Anda dalam keadaan ompong peyot, pakaiannya compang-camping sedang duduk di rumah gubuk yang reot. Akankah rasa cinta Anda masih menggemuruh sedahsyat yang Anda rasakan saat ini? Para ulama’ sejarah mengisahkan, pada suatu hari Abdurrahman bin Abi Bakar radhiallahu ‘anhu bepergian ke Syam untuk berniaga. Di tengah jalan, ia melihat seorang wanita berbadan semampai, cantik nan rupawan bernama Laila bintu Al Judi. Tanpa diduga dan dikira, panah asmara Laila melesat dan menghujam hati Abdurrahman bin Abi Bakar radhiallahu ‘anhu. Maka sejak hari itu, Abdurrahman radhiallahu ‘anhu mabok kepayang karenanya, tak kuasa menahan badai asmara kepada Laila bintu Al Judi. Sehingga Abdurrahman radhiallahu ‘anhu sering kali merangkaikan bait-bait syair, untuk mengungkapkan jeritan hatinya. Berikut di antara bait-bait syair yang pernah ia rangkai: Aku senantiasa teringat Laila yang berada di seberang negeri Samawah Duhai, apa urusan Laila bintu Al Judi dengan diriku? Hatiku senantiasa diselimuti oleh bayang-bayang sang wanita Paras wajahnya selalu membayangi mataku dan menghuni batinku. Duhai, kapankah aku dapat berjumpa dengannya, Semoga bersama kafilah haji, ia datang dan aku pun bertemu. Karena begitu sering ia menyebut nama Laila, sampai-sampai Khalifah Umar bin Al Khathab radhiallahu ‘anhu merasa iba kepadanya. Sehingga tatkala beliau mengutus pasukan perang untuk menundukkan negeri Syam, ia berpesan kepada panglima perangnya: bila Laila bintu Al Judi termasuk salah satu tawanan perangmu (sehingga menjadi budak), maka berikanlah kepada Abdurrahman radhiallahu ‘anhu. Dan subhanallah, takdir Allah setelah kaum muslimin berhasil menguasai negeri Syam, didapatkan Laila termasuk salah satu tawanan perang. Maka impian Abdurrahman pun segera terwujud. Mematuhi pesan Khalifah Umar radhiallahu ‘anhu, maka Laila yang telah menjadi tawanan perang pun segera diberikan kepada Abdurrahman radhiallahu ‘anhu. Anda bisa bayangkan, betapa girangnya Abdurrahman, pucuk cinta ulam tiba, impiannya benar-benar kesampaian. Begitu cintanya Abdurrahman radhiallahu ‘anhu kepada Laila, sampai-sampai ia melupakan istri-istrinya yang lain. Merasa tidak mendapatkan perlakuan yang sewajarnya, maka istri-istrinya yang lainpun mengadukan perilaku Abdurrahman kepada ‘Aisyah istri Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam yang merupakan saudari kandungnya. Menyikapi teguran saudarinya, Abdurrahman berkata: “Tidakkah engkau saksikan betapa indah giginya, yang bagaikan biji delima?” Akan tetapi tidak begitu lama Laila mengobati asmara Abdurrahman, ia ditimpa penyakit yang menyebabkan bibirnya “memble” (jatuh, sehingga giginya selalu nampak). Sejak itulah, cinta Abdurrahman luntur dan bahkan sirna. Bila dahulu ia sampai melupakan istri-istrinya yang lain, maka sekarang ia pun bersikap ekstrim. Abdurrahman tidak lagi sudi memandang Laila dan selalu bersikap kasar kepadanya. Tak kuasa menerima perlakuan ini, Laila pun mengadukan sikap suaminya ini kepada ‘Aisyah radhiallahu ‘anha. Mendapat pengaduan Laila ini, maka ‘Aisyah pun segera menegur saudaranya dengan berkata: يا عبد الرحمن لقد أحببت ليلى وأفرطت، وأبغضتها فأفرطت، فإما أن تنصفها، وإما أن تجهزها إلى أهلها، فجهزها إلى أهلها. “Wahai Abdurrahman, dahulu engkau mencintai Laila dan berlebihan dalam mencintainya. Sekarang engkau membencinya dan berlebihan dalam membencinya. Sekarang, hendaknya engkau pilih: Engkau berlaku adil kepadanya atau engkau mengembalikannya kepada keluarganya. Karena didesak oleh saudarinya demikian, maka akhirnya Abdurrahman pun memulangkan Laila kepada keluarganya. (Tarikh Damaskus oleh Ibnu ‘Asakir 35/34 & Tahzibul Kamal oleh Al Mizzi 16/559) Bagaimana saudaraku! Anda ingin merasakan betapa pahitnya nasib yang dialami oleh Laila bintu Al Judi? Ataukah Anda mengimpikan nasib serupa dengan yang dialami oleh Abdurrahman bin Abi Bakar radhiallahu ‘anhu? Tidak heran bila nenek moyang Anda telah mewanti-wanti Anda agar senantiasa waspada dari kenyataan ini. Mereka mengungkapkan fakta ini dalam ungkapan yang cukup unik: Rumput tetangga terlihat lebih hijau dibanding rumput sendiri. Anda penasaran ingin tahu, mengapa kenyataan ini bisa terjadi? Temukan rahasianya pada sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini: الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ فَإِذَا خَرَجَتِ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ. رواه الترمذي وغيره “Wanita itu adalah aurat (harus ditutupi), bila ia keluar dari rumahnya, maka setan akan mengesankannya begitu cantik (di mata lelaki yang bukan mahramnya).” (Riwayat At Tirmidzi dan lainnya) Orang-orang Arab mengungkapkan fenomena ini dengan berkata: كُلُّ مَمْنُوعٍ مَرْغُوبٌ Setiap yang terlarang itu menarik (memikat). Dahulu, tatkala hubungan antara Anda dengannya terlarang dalam agama, maka setan berusaha sekuat tenaga untuk mengaburkan pandangan dan akal sehat Anda, sehingga Anda hanyut oleh badai asmara. Karena Anda hanyut dalam badai asmara haram, maka mata Anda menjadi buta dan telinga Anda menjadi tuli, sehingga Anda pun bersemboyan: Cinta itu buta. Dalam pepatah Arab dinyatakan: حُبُّكَ الشَّيْءَ يُعْمِي وَيُصِمُّ Cintamu kepada sesuatu, menjadikanmu buta dan tuli. Akan tetapi setelah hubungan antara Anda berdua telah halal, maka spontan setan menyibak tabirnya, dan berbalik arah. Setan tidak lagi membentangkan tabir di mata Anda, setan malah berusaha membendung badai asmara yang telah menggelora dalam jiwa Anda. Saat itulah, Anda mulai menemukan jati diri pasangan Anda seperti apa adanya. Saat itu Anda mulai menyadari bahwa hubungan dengan pasangan Anda tidak hanya sebatas urusan paras wajah, kedudukan sosial, harta benda. Anda mulai menyadari bahwa hubungan suami-istri ternyata lebih luas dari sekedar paras wajah atau kedudukan dan harta kekayaan. Terlebih lagi, setan telah berbalik arah, dan berusaha sekuat tenaga untuk memisahkan antara Anda berdua dengan perceraian: فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ. البقرة 102 “Maka mereka mempelajari dari Harut dan Marut (nama dua setan) itu apa yang dengannya mereka dapat menceraikan (memisahkan) antara seorang (suami) dari istrinya.” (Qs. Al Baqarah: 102) Mungkin Anda bertanya, lalu bagaimana saya harus bersikap? Bersikaplah sewajarnya dan senantiasa gunakan nalar sehat dan hati nurani Anda. Dengan demikian, tabir asmara tidak menjadikan pandangan Anda kabur dan Anda tidak mudah hanyut oleh bualan dusta dan janji-janji palsu. Mungkin Anda kembali bertanya: Bila demikian adanya, siapakah yang sebenarnya layak untuk mendapatkan cinta suci saya? Kepada siapakah saya harus menambatkan tali cinta saya? Simaklah jawabannya dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam: تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا ، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ. متفق عليه “Biasanya, seorang wanita itu dinikahi karena empat alasan: karena harta kekayaannya, kedudukannya, kecantikannya dan karena agamanya. Hendaknya engkau menikahi wanita yang taat beragama, niscaya engkau akan bahagia dan beruntung.” (Muttafaqun ‘alaih) Dan pada hadits lain beliau bersabda: إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوهُ إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِى الأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيضٌ. رواه الترمذي وغيره. “Bila ada seorang yang agama dan akhlaqnya telah engkau sukai, datang kepadamu melamar, maka terimalah lamarannya. Bila tidak, niscaya akan terjadi kekacauan dan kerusakan besar di muka bumi.” (Riwayat At Tirmidzi dan lainnya) Cinta yang tumbuh karena iman, amal shalih, dan akhlaq yang mulia, akan senantiasa bersemi. Tidak akan lekang karena sinar matahari, dan tidak pula luntur karena hujan, dan tidak akan putus walaupun ajal telah menjemput. الأَخِلاَّء يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلاَّ الْمُتَّقِينَ. الزخرف 67 “Orang-orang yang (semasa di dunia) saling mencintai pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertaqwa.” (Qs. Az Zukhruf: 67) Saudaraku! Cintailah kekasihmu karena iman, amal shalih serta akhlaqnya, agar cintamu abadi. Tidakkah Anda mendambakan cinta yang senantiasa menghiasi dirimu walaupun Anda telah masuk ke dalam alam kubur dan kelak dibangkitkan di hari kiamat? Tidakkah Anda mengharapkan agar kekasihmu senantiasa setia dan mencintaimu walaupun engkau telah tua renta dan bahkan telah menghuni liang lahat? Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ الإِيمَانِ: أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِى الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِى النَّارِ. متفق عليه “Tiga hal, bila ketiganya ada pada diri seseorang, niscaya ia merasakan betapa manisnya iman: Bila Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dibanding selain dari keduanya, ia mencintai seseorang, tidaklah ia mencintainya kecuali karena Allah, dan ia benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkan dirinya, bagaikan kebenciannya bila hendak diceburkan ke dalam kobaran api.” (Muttafaqun ‘alaih) Saudaraku! Hanya cinta yang bersemi karena iman dan akhlaq yang mulialah yang suci dan sejati. Cinta ini akan abadi, tak lekang diterpa angin atau sinar matahari, dan tidak pula luntur karena guyuran air hujan. Yahya bin Mu’az berkata: “Cinta karena Allah tidak akan bertambah hanya karena orang yang engkau cintai berbuat baik kepadamu, dan tidak akan berkurang karena ia berlaku kasar kepadamu.” Yang demikian itu karena cinta Anda tumbuh bersemi karena adanya iman, amal shalih dan akhlaq mulia, sehingga bila iman orang yang Anda cintai tidak bertambah, maka cinta Anda pun tidak akan bertambah. Dan sebaliknya, bila iman orang yang Anda cintai berkurang, maka cinta Anda pun turut berkurang. Anda cinta kepadanya bukan karena materi, pangkat kedudukan atau wajah yang rupawan, akan tetapi karena ia beriman dan berakhlaq mulia. Inilah cinta suci yang abadi saudaraku. Saudaraku! Setelah Anda membaca tulisan sederhana ini, perkenankan saya bertanya: Benarkah cinta Anda suci? Benarkah cinta Anda adalah cinta sejati? Buktikan saudaraku… Wallahu a’alam bisshowab, mohon maaf bila ada kata-kata yang kurang berkenan atau menyinggung perasaan. Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/02/18564/the-meaning-of-true-love/#ixzz1mALBJfwG

Kamis, 02 Februari 2012

Minder

sering kali kita merasa minder karena enggak pinter, pendek, hitam, gendut, kurus kering, enggak cakep, cacat dan lain sebagainya. Minder adalah sikap yang wajar dan manusiawi. Semua orang pernah memiliki sikap dan perasaan ini dengan tingkatan yang berbeda-beda. Perasaan minder timbul karena sebahagian besar dari kita masih menilai seseorang berdasarkan fisik dan yang tampak dari luar. Kita masih men-judge the book by it’s cover. Padahal kualitas kemanusian kita itu ditentukan dari jiwa yang kita miliki. Minder akan menjadi tidak manusiawi lagi ketika kita tidak berusaha untuk menghilangkan sikap dan perasaan minder tersebut. Kalau kita percaya bahwa segala sesuatu yang diberikan pada kita adalah untuk kebaikan. Marilah kita mencoba mengkaji ke dalam kenapa perasaan minder itu hadir dihati kita. Saya yakin setelah kita berhasil mengkaji kedalam maka kita akan bertemu berbagai alasan baik yang menyebabkan perasaan minder itu hadir bersama kita. Minder adalah tipikal orang yang bermental lemah. Mental yang lemah akan membuat kita selalu merasa tidak aman, gelisah dan kuatir. Karena kerja otak sudah dipenuhi dengan rasa kuatir, takut dan gelisah tanpa sebab atau disebabkan oleh hal-hal kecil, maka kerja otakpun menjadi lemah dan tidak dapat berfungsi untuk memikirkan hal-hal besar yang bermanfaat buat diri sendiri dan orang lain. Kadang kehidupan perlu melemahkan kita agar kita bangkit dan menjadi kuat bahkan kuat sekali. Karena tak jarang kekuatan kita justru terletak pada kelemahan kita. Salah satu tujuan pelemahan kita adalah untuk kita sadar bahwa ada kekuatan Yang Maha Dahsyat tempat dimana kita memohon agar apapun yang tidak mungkin kita lakukan dengan kelemahan kita menjadi mungkin. Satu hal yang perlu kita ingat bahwa setiap kita dilemahkan untuk satu hal pasti kita akan dikuatkan di hal lain. Ketika perasaan minder dan merasa lemah hadir dalam diri kita seharusnyalah kita berpaling kepada kekuatan Yang Maha Kuat dan memohon bantuan-Nya agar kita berhasil keluar dari perasaan tersebut dan menemukan kelebihan-kelebihan kita yang lain. Beberapa keadaaan fisik dan sifat yang membuat kita minder dan merasa lemah disematkan dalam diri agar kita belajar mengkaji, menggali kelebihan-kelebihan kita yang lain dan mencari dukungan dari Yang Maha Kuat. So kalau begitu, minder harus sebisa mungkin dihindari dan dicari jalan keluarnya dalam rangka mengubah pribadi kita menuju kepribadian yang memiliki self-esteem. Suatu tipe kepribadian yang dimiliki orang-orang besar, tokoh-tokoh besar dunia dan para pemikir internasional.

Rabu, 01 Februari 2012

Jangan mengeluh

Jangan Mengeluh. Itulah kata-kata yang sering saya ucapkan ke diri sendiri. Untuk urusan yang satu ini saya agak keras pada diri sendiri. Alasannya? Bila kita telah mengambil keputusan untuk bertindak atau untuk tidak bertindak dan saat ini sedang menghadapi konsekuensinya, maka hadapilah dengan sebaik-baiknya. Mengeluh tidak menjadikan persoalan kita beres! Ada orang yang mengatakan mengeluh itu hak saya! Kenapa saya tidak boleh mengeluh? Tentu saja boleh. Hanya dari pengalaman saya, mengeluh itu hanya menjadikan kita lemah dan menguatkan afirmasi bahwa kita tidak berdaya. Afirmasi adalah pernyataan yang kita ucapkan ke diri sendiri (self talk). Pernyataan ini mampu menguatkan dan mencerahkan, mampu juga berbuat hal yang sebaliknya. Bila kita mengerti bagaimana benak bawah sadar bekerja, maka hindari afirmasi negatif semacam keluhan. Jika afirmasi ini terus menerus anda ucapkan pada diri sendiri maka ia akan menetap di bawah sadar. Lama-kelamaan menjadi mindset. Mindset membentuk habit / kebiasaan. Habit menjadi karakter. Karakter menentukan nasib anda. Orang yang sering mengeluh tanpa ia sadari telah membentuk dirinya sedemikian rupa dan pada akhirnya ia juga yang membawa nasib buruk dalam kehidupannya! Tidak percaya? Mulailah mengeluh tentang apa saja. Tentang pekerjaan, tentang tubuh anda, tentang situasi rumah tangga, keuangan, anak-istri, orangtua, teman-teman, dll. Mulai mengeluh sekarang dan keluhan-keluhan itu menjadi mindset yang jauh berakar di bawah sadar. Mulailah mengeluh dan lihat ke mana arah nasib anda! Karena itulah saya agak keras pada diri sendiri. Dilarang Mengeluh! Lalu bagaimana jika kita cenderung selalu mengeluh?