SELAMAT DATANG DIBLOG BEJOSENTOSO

Minggu, 12 Februari 2012

Sepetak Waktu di Sepenggal Usia

“Tidak akan tergelincir dua kaki anak Adam pada hari kiamat hingga ia ditanya tentang empat perkara: tentang usianya untuk apa ia habiskan, masa mudanya untuk apa ia habiskan, hartanya dari mana ia peroleh dan ke mana ia belanjakan, dan tentang ilmunya apa yang diperbuatkan dengan ilmunya tersebut”. (HR. Al-Bazzar dan Al-Thabrani). Bismillahirrahmanirrahim. Senja itu, masih selalu saja terkenang dalam ingatan, sebuah senja yang tenang dengan bau segar rerumputan. Di hadapan sebuah kolam dengan hamparan teratai bermekaran, beberapa pemuda dengan gagah berlarian; tergopoh-gopoh membawa tas penuh makanan; kemudian duduk dan membentuk sebuah lingkaran. Pada sebuah tanah lapang yang melandai, di kaki perbukitan yang ramai oleh kabut, hawa sejuk, dan sesekali, rintik gerimis pembawa harapan, serta gumpal awan yang menahankan sebuah kerinduan, tawa sesekali terdengar berderai dari lidah mereka yang sesekali berceloteh, berbagi makanan. Tenda-tenda nampak rapih didirikan. Kemudian sebuah antrian tercipta menghadirkan sebuah pemandangan yang menenangkan luar biasa, tentang insan-insan yang mematutkan pada wajah mereka cahaya-cahaya, yang terpancar dari basuhan air wudhu, dan keinginan untuk bersujud di hadapan Rabb yang selalu memberi mereka Rezeki dan Kebaikan tiada habisnya. Rabb Yang menciptakan barisan gunung-gunung yang bertasbih, langit yang meluas, dan semesta kasih. Rabb Yang, tanda-tandanya selalu terasa oleh mereka yang hatinya tulus dan bersih. Tibalah waktunya muda-mudi itu berbaris rapih, duduk membentuk shaf-shaf yang membuat malaikat manapun cemburu lirih; betapa tidak? Di saat belia seusia mereka menghabiskan waktu berbelanja di mal-mal dan tempat hiburan, atau menghabiskan waktu mendengarkan nyanyian, tertawa karena permainan-permainan, sekelompok muda-mudi ini bertaqarub, mendekatkan diri mereka pada Allah dengan mentafakuri ayat-ayat ciptaanNya. Kemudian bersabar mengejar ilmuNya. Pantaslah jika pada saat itu, saya terkenang pada sebuah hadits tentang hari akhir, yang ditakhrij oleh Imam Al-Bazzar dan At-Thabrani, dari Mu’adz Ibn Jabal R.A, bahwa Rasulullah SAW yang lidahnya selalu jujur dan tak pernah sekalipun berdusta, berkata bahwa pada hari akhir nanti, anak-anak Adam ini tidak akan beranjak dari hadapan Rabbnya, kecuali setelah ditanya kepadanya tentang 4 perkara; tentang usianya, masa mudanya, hartanya, dan ilmunya. Di Gunung Salak, pada senja itu, pada kesempatan LDKR Runners SMKN 26 Jakarta, kami berdiskusi dan berbagi, diselingi dengan permainan-permainan menyenangkan yang bisa diambilkan ibrahnya, dibahas tentang bagaimana hadits di atas bisa menjadi sebuah motivasi untuk menghargai usia dan rezeki, dengan senantiasa mengejar ridha dan menyebar kebaikan dari Rabb Yang Maha Memberi. “Tidak akan tergelincir dua kaki anak Adam pada hari kiamat hingga ia ditanya tentang empat perkara: tentang usianya untuk apa ia habiskan, masa mudanya untuk apa ia habiskan, hartanya dari mana ia peroleh dan ke mana ia belanjakan, dan tentang ilmunya apa yang diperbuatkan dengan ilmunya tersebut” (HR. Al-Bazzar dan Al-Thabrani). Pada hari itu, diingatkan bahwa, hidup ini adalah sebuah ujian, ujian untuk sebuah keabadian [1], dimana hanya akan ada dua pilihan; kebahagiaan berkekalan, atau kesengsaraan tiada terperi. Di akhir ujian itu, setelah bumi diguncangkan, dan manusia-manusia yang telah mati dibangkitkan, Rabb akan hadir dan malaikat berbaris-barisan, neraka akan ditampakkan; dan manusia-manusia ketakutan dan akan menyesal karena tidak pernah bersungguh-sungguh saat mengejar kebaikan. [2] Pada detik-detik yang menegangkan tersebut, di hadapan semesta dan penduduk langit maupun bumi, semua hadir sejak awal generasi, akan ditanyakan pada kita tentang empat perkara itu, empat perkara itu! Empat perkara yang kita akan malu karena tidak pernah kita manfaatkan dengan lebih baik. Empat perkara yang karenanya tidak akan berhenti tangis kita, karena menahan sesal dan rasa malu yang luar biasa. Empat perkara yang adalah Usia, Masa Muda, Harta, dan Ilmu kita. 1. Usia Apa yang telah kita lakukan sejak kelahiran kita? Apa yang telah kita berikan kepada mereka yang menjadi tanggung jawab kita? Anak-anak kelaparan yang meminta-minta di sepanjang perempatan yang bisa kita temukan di sekitar Jakarta. Pengamen-pengamen di Galur, atau keluarga gerobak yang tidak se-beruntung kita yang selalu memiliki sahabat-sahabat yang baik, pendidikan yang layak, dan juga tempat bernaung? Tidakkah kita mensyukuri usia kita yang telah Allah penuhi dengan serba kecukupan? Tidakkah kita ingat bahwa kita di atas bumi ini adalah khalifah, manajer yang bertanggung jawab atas kesejahteraan dan keselamatan seluruh penghuninya? [3] Apa yang akan kita jawab di hadapan Rabb kita dan para malaikatNya nanti? Serta barisan manusia yang menanti di belakang kita? Sanggupkah jika kita harus berkata, “Usia hamba, sejak hamba lahir hingga Engkau cabut nyawa hamba pada saat mati, hanya hamba pergunakan memikirkan kepentingan diri sendiri. Hamba mematut-matut diri di hadapan cermin selama berjam-jam tanpa memikirkan tetangga-tetangga hamba yang belum memiliki pakaian. Hamba mengejar karir dan capaian tanpa memikirkan tetangga-tetangga hamba yang masih kelaparan. Hamba menolak menyisihkan usia hamba untuk mentafakuri dosa-dosa dan pengkhianatan yang setiap hari hamba lakukan di hadapMu yaa Rabb. Bahkan hamba abai terhadap misteri-misteri kehidupan yang sebenarnya tercatat dengan rapih pada ayat-ayatMu. Hamba menghabiskan usia hamba untuk menghinakan diri hamba dengan mengkhianatiMu.” Ah, terbayangkan tangis yang berderai sebab betapa malunya kita jika kelak harus mengatakan yang seperti itu, na’udzubillah min dzalika. 2. Masa Muda “Ada tujuh golongan manusia yang akan mendapat naungan Allah pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya: Pemimpin yang adil. Pemuda yang menyibukkan diri dengan ibadah kepada Rabbnya. Lelaki yang hatinya terpaut dengan masjid. Dua orang yang saling mencintai karena Allah; mereka tidak bertemu dan tidak juga berpisah kecuali karena Allah. Lelaki yang diajak (berzina) oleh seorang wanita yang mempunyai kedudukan lagi cantik lalu dia berkata, ‘Aku takut kepada Allah’. Orang yang bersedekah dengan sembunyi-sembunyi, hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya. Orang yang berdzikir kepada Allah dalam keadaan sendiri hingga kedua matanya basah karena menangis.” (HR. Al-Bukhari no. 620 dan Muslim no. 1712) Masa muda menjadi sorotan tersendiri dalam Islam dan ajarannya, terbukti ketika, meskipun Allah swt telah bertanya kepada anak-anak Adam tentang usianya, Allah masih juga secara khusus menanyakan tentang masa muda. Hal ini dapat kita pahami dengan mudah melihat adanya potensi yang luar biasa dari masa muda. Pada masa inilah seorang muslim dan manusia manapun yang ada di dunia, membentuk karakter dan jati dirinya. Akan sulit bagi seseorang yang terbiasa bermalas-malasan pada usia mudanya, untuk menjadi pekerja keras ketika mereka tua. Juga tidak mudah bagi mereka yang terbiasa bekerja keras dan belajar pada masa muda, jika harus menjadi seorang pemalas yang kehilangan gairah pada masa tua. Masa muda, bisa dibilang, adalah sepenggal usia dalam sebuah perjalanan kehidupan setiap manusia yang, nyaris menentukan segalanya. Bersahabatlah kita pada masa muda dengan orang-orang yang tidak dapat memberikan manfaat dunia akhirat bagi kita, mungkin setidaknya kita dapat bertahan untuk tidak terjerumus pada keburukan, tapi kelak kita akan menyesal karena seharusnya dapat mengumpulkan modal kebaikan lebih banyak untuk kita bagi-bagikan. Berleha-lehalah kita pada masa muda dengan kesenangan-kesenangan, mungkin kelak kita masih akan mampu menghadirkan kesenangan yang sama pada masa tua, tapi bisa jadi kita akan terjebak pada pertanyaan-pertanyaan tentang tujuan hidup dan kebingungan akan makna kebahagiaan yang sejati. Ya, kesenangan tidak akan pernah dapat memuaskan jiwa manusia, yang manusia cari adalah ketenangan, dan bekerja keras mencari makna kebahagiaan pada masa muda, dapat membantu menghadirkan ketenangan tersebut. Sebuah perbedaan kecil yang dilakukan secara terus-menerus dalam jangka waktu yang cukup lama, selalu menghadirkan perbedaan-perbedaan besar. Bijak adalah berhati-hati dan selalu mengevaluasi apa yang kita lakukan pada masa muda kita. Tidak perlu dijalani dengan terlalu kaku, sesekali refreshment dan istirahat juga diperlukan. Tapi ingatlah untuk selalu memaksimalkan manfaat, sebab selain itu berpengaruh pada masa depan kita serta masa depan ummat, ternyata masa muda kita juga kelak akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah SWT. 3. Harta Dari mana kita dapatkan harta kita? Dari sumber-sumber pendapatan yang halal kah? Atau kita mendapatkan harta kita tanpa memperhatikan apakah Allah akan ridha atau tidak? Pada proses pencarian pendapatan, adakah tercampur di dalamnya maksiat? Adakah pernah kita menyakiti perasaan saudara kita atas amanah yang tidak kita tuntaskan dengan baik dalam pekerjaan, atau sikut kiri sikut kanan hanya untuk mencari muka, posisi dan jabatan? Adakah tanpa sengaja kita mengundang kecemburuan Allah dengan interaksi yang berlebihan dengan rekan kerja non mahram? Atau lalai mengingatNya karena sibuk meraup rezeki? Na’udzubillah min dzalika. Lebih jauh lagi, untuk apa kita pergunakan harta kita? Adakah untuk kesenangan sesaat, atau kita pergunakan untuk menolong agama Allah dan mensucikan diri kita? Berusaha menjadikan diri kita orang-orang yang mendapatkan petunjuk dari Al-Qur’an agar termasuk ke dalam golongan mereka yang selalu bertaqwa? [4] Adakah terpikirkan dalam cita-cita kita untuk menjadi seperti Abdurrahman Ibn Auf, yang bergelimang harta yang berkah dan disedekahkan demi pembangunan dan kesejahteraan Madinah? Adakah terbesit dalam hati kita bahwa usia ini akan diinfakkan untuk Jihad di JalanNya dengan cara memanfaatkan masa muda mengumpulkan keahlian yang kelak dapat digunakan untuk mengumpulkan harta yang dapat kita pergunakan mendirikan pesantren-pesantren modern? Dimana anak-anak yang kurang beruntung dapat mempelajari Arsitektur, Tata Kota, Ilmu pemerintahan, Sastra, Teknologi; agar kelak mereka menjadi sumber daya manusia yang turut membangun kembali Jakarta yang mulai nampak tua dan lelah oleh amarah yang hadir dari kemacetan juga kemiskinan? Apa yang akan kita jawab di hadapan Rabb kita nanti ketika Dia bertanya tentang harta kita? Semoga kita akan mampu memberi jawaban yang baik. Jangan sampai kita menanggung malu nanti, na’udzubillah min dzalika. 4. Ilmu Ilmu yang kita dapati, dipergunakan untuk apakah ia? Adakah ia kita jadikan koleksi dan kita hamburkan untuk caci maki kepada mereka yang kita anggap tidak lebih berilmu daripada kita? Ataukah kita jadikan senjata yang menguatkan kasih sayang dan perhatian yang kita miliki kepada mereka yang terlantar dan kelaparan? Hadir dan menjelma api yang menghangatkan mereka yang sehari-hari menggigil dan kedinginan? Dijadikan tetes-tetes air jernih oleh kerongkongan mereka yang sehari-hari kehausan? Bukankah kita ini hamba-hamba Ar-Rahman? Yang kasihnya menyemestakan ampunan? Bukankah kita mengasihi saudara-saudara kita sebagaimana kita mengasihi diri kita sendiri? Bukankah kita mencintai Rasulullah yang bahkan di penghujung hayatnya sekalipun, masih saja memikirkan ummat yang dikasihinya? Tidakkah kita ingin menyunggingkan senyum di bibir Rasulullah yang kita rindukan, berbincang-bincang dengannya di selasar-selasar puncak tertinggi Jannah, membicarakan betapa ilmu yang beliau wariskan telah berhasil kita jadikan tonggak yang menegakkan peradaban? Dengan izin Allah, kita telah membangun perusahaan-perusahaan yang membuka banyak sekali lapangan pekerjaan, membebaskan lahan-lahan pertanian untuk digunakan memenuhi kebutuhan pangan, menstabilkan harga makanan? Mendidik anak-anak dari mereka yang tadinya kelaparan sehingga mampu memikirkan cara-cara memenuhi kebutuhan? Tidakkah kita ingin di hadapan Mizan, kelak, ketika Allah menanyakan tentang ilmu kita, kita mampu bersitatap manja, dengan perasaan bangga, di hadapan Rabb kita, dengan mengatakan bahwa ilmu titipanNya telah kita pergunakan untuk membuktikan kepadaNya, bahwa kita adalah hambaNya, hamba dari yang Maha Cinta kepada hambaNya? “Tidak akan tergelincir dua kaki anak Adam pada hari kiamat hingga ia ditanya tentang empat perkara: tentang usianya untuk apa ia habiskan, masa mudanya untuk apa ia habiskan, hartanya dari mana ia peroleh dan ke mana ia belanjakan, dan tentang ilmunya apa yang diperbuatkan dengan ilmunya tersebut” (HR. Al-Bazzar dan Al-Thabrani). Bersamaan dengan berakhirnya diskusi, senja hari itu pun turun, tergantikan malam yang terhadir anggun. Luruh bersama kerak-kerak kesombongan, tergantikan telaga-telaga penyesalan. Kami, muda-mudi Runners saat itu, diam-diam menanamkan tekad dalam dada, berazzam dihadap Rabbana, berdoa, semoga ketika hadir pertanyaan serupa, kami telah melewati segalanya dengan hanya mengejar ridhaanNya, sehingga mampu hati kami bersaksi, “Radhitu billahi Rabba, wa bil islami diena, wa bimuhammadiwwarasula.” Semoga kelak, Rabb kemudian akan berkata, “Wahai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Rabbmu dengan hati yang puas lagi diridhaiNya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hambaKu. Dan masuklah ke dalam surgaKu.” [5] Betapa senja itu, adalah sepetak waktu di sepenggal usia, yang semoga tak pernah terlupa. Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/02/18439/sepetak-waktu-di-sepenggal-usia/#ixzz1mAVCYs86

Tidak ada komentar:

Posting Komentar