SELAMAT DATANG DIBLOG BEJOSENTOSO

Rabu, 23 November 2011

Islam Memuliakan Wanita, dan Perlunya Berhati-hati pada Selubung Emansipasi Dalam hadits Mu’awiyah ibnul Hakam As-Sulami radhiyallahu ‘anhu, diungkapkan sebuah dialog antara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan seorang budak wanita: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: ‘Di mana Allah?’ Budak wanita itu menjawab: ‘Di (atas) langit.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kembali: ‘Siapa saya?’ ‘Anda Rasulullah,’ jawab budak wanita itu. Kata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Bebaskan dia. Karena sesungguhnya dia seorang wanita yang beriman’.” (HR. Abu Dawud. Dishahihkan Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu dalam Sunan Abi Dawud, no. 930) Kemuliaan Manusia Karena Ilmunya, Bukan Karena Gendernya Kisah hadits di atas membeberkan demikian gamblang, betapa keimanan yang kokoh menyembul di kalbu mampu mengantarkan seseorang memperoleh kemuliaan. Keimanan dan ilmu yang dimiliki jariyah (budak wanita) itu telah melepaskan kedudukan budak yang ada pada dirinya. Kenapa ia mampu menjawab pertanyaan Rasulullah? Tak lain karena ilmu yang ia miliki. Melalui keimanan dan ilmu, maka akan terangkatlah martabat dan harkat seseorang. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: يَرْفَعِ اللهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (Al-Mujadilah: 11) Karenanya, sungguh teramat tidak santun bila ada seorang muslimah menyuarakan bahwa kemuliaan wanita bisa tergapai manakala keseteraan jender terpenuhi. Kesempatan Yang Sama Untuk Mendapatkan Surga Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ “Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (An-Nahl: 97) Dalam ayat lain Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Al-Ahzab: 35) Hijab (Jilba Ditujukan Untuk Memuliakan Wanita Hijab adalah menutup seluruh aurat wanita yang tak boleh dilihat laki-laki kecuali mahramnya. Menutup anggota tubuh bagi wanita merupakan kewajiban yang ditentukan syariat. Ini salah satu aturan kesusilaan dalam Islam. Hikmah adanya ketentuan menutup seluruh anggota tubuh wanita adalah sebagai bukti perlindungan dan pemeliharaan dari hal-hal yang tidak diinginkan. Kaum wanita diperintah menutup tubuh agar mereka mudah dikenal sebagai mukminah (wanita beriman). Sehingga, orang-orang yang munafik atau fasik tidak mengganggunya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلاَ يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَحِيمًا “Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Ahzab: 59) Timbul suara sumbang dari kalangan pengusung emansipasi. Mereka katakan, tak ada kaitan antara liberalisasi (kebebasan) berpakaian seorang wanita dengan tindak pelecehan terhadap wanita. Pernyataan ini sebagai wujud pembelaan terhadap para wanita yang berbusana tanpa menutup aurat. Pembelaan ini diberikan mengingat ide-ide emansipasi memberi kebebasan pada kaum wanita untuk berpakaian sesuai selera mereka. Karena itu, bisa dimafhumi bila memperjuangkan emansipasi setali tiga uang dengan memperjuangkan terlucutinya hijab dari kaum wanita. Maka, bagi seorang muslimah, ada atau tidak ada kaitan antara liberalisasi berpakaian dengan tindak pelecehan terhadap kaum wanita, tak begitu urgen. Sebab bagi seorang muslimah, dikenakannya busana yang menutup tubuh merupakan implementasi syariat. Meski tak menampik kenyataan, busana yang menutupi sekujur tubuhnya dengan seizin Allah Subhanahu wa Ta’ala bisa meminimkan bangkitnya birahi kaum pria. Ini merupakan bentuk kontribusi sosial yang tak ternilai dalam menciptakan kehidupan masyarakat yang bersusila. Bandingkan dengan apa yang diusung para pengikut emansipasi wanita. Dengan ide-ide kebebasan bagi kaum wanita, termasuk kebebasan berpakaian, maka apa yang disumbangkan kepada masyarakat? Tak lain, sebuah masyarakat dengan konstruksi yang melecehkan wanita, mengumbar syahwat, pornografi dan berbagai kerusakan lainnya. Masyarakat menjadi ‘sakit’. Maka ketentuan syariat yang mewajibkan setiap wanita menutup sekujur tubuhnya adalah rahmat. وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (Al-Anbiya`: 107) Larangan Bepergian Bagi Wanita Tanpa Mahramnya Merupakan Perlindungan Terhadap Wanita Melalui ketentuan safar (bepergian) bagi kaum wanita, akan nampak bahwa Islam begitu memuliakan martabat dan kehormatan wanita. Siapa saja yang mengetahui ihwal safar (keluar rumah dan pergaulan) pada masa kini, serta mengetahui betapa dahsyatnya kerusakan pola gaul pria dan wanita, niscaya akan bisa memahami hikmah larangan bepergian sendirian bagi wanita. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: لَا تُسَافِرْ الْمَرْأَةُ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ وَلاَ يَدْخُلُ عَلَيْهَا رَجُلٌ إِلاَّ وَمَعَهَا مَحْرَمٌ. فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أَخْرُجَ فِي جَيْشِ كَذَا وَكَذَا، وَامْرَأَتِي تُرِيدُ الْحَجَّ. فَقَالَ: اخْرُجْ مَعَهَا “Tidak boleh seorang wanita melakukan safar kecuali disertai mahramnya. Dan tidak boleh pula seorang laki-laki bersama dengan seorang wanita kecuali ada bersamanya mahram.” Maka seorang laki-laki berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya menginginkan keluar bersama pasukan (untuk) begini dan begini, sementara istri saya menginginkan berhaji.” Kemudian kata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Pergilah bersama istrimu.” (HR. Al-Bukhari dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Bab Hajjin Nisa`, no. 1862, dan Muslim, Bab Safar Al-Mar`ah ma’a Mahramin ila Hajj wa ghairih, no. 1341) Maka bepergian sendirian tanpa mahram, bergaul dengan pria yang bukan mahram, berada di tempat sepi bersama pria bukan mahram, semua itu merupakan tradisi yang bakal mengantarkan kaum wanita pada malapetaka, kehancuran moral, kerendahan martabat, dan kehormatan sebagai wanita. Demikian pula, apa yang akan berdampak pada pria pun sama. Namun ketahuilah, bahwa akibat yang akan ditanggung wanita di dunia jauh lebih buruk. Karena ini menyangkut kehormatan diri, kesehatan, dan status sosial kemanusiaan. Sedangkan apa yang kelak ditanggung di akhirat tentu lebih dahsyat lagi bagi wanita maupun pria yang bersangkutan. Kita memohon keselamatan dari itu semua. Bisa jadi ada yang berpendapat bahwa bepergian haji bagi wanita pada masa sekarang ini tak mengapa. Zaman sudah berubah, keamanan bisa terjaga. Kalau ini yang dijadikan alasan, maka akan timbul pertanyaan: di manakah letak ketaatan terhadap larangan yang disampaikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam? Para ulama sendiri telah sepakat bahwa seorang wanita bepergian sendirian adalah terlarang. Seperti diungkapkan Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu, bahwa tiap sesuatu yang disebut safar (bepergian) adalah terlarang bagi wanita kecuali disertai mahram atau suaminya. Disebutkan pula oleh Asy-Syaikh Yahya bin Ali Al-Hajuri hafizhahullah, banyak kalangan ulama yang tidak membolehkan wanita tanpa mahram safar (bepergian) untuk berhaji. Bila tidak didapati mahram yang menyertainya berhaji, maka dia tergolong orang yang belum mampu berhaji. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (Ali ‘Imran: 97) Maka, tidaklah Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan haji kecuali kepada yang mampu. Sedangkan pada wanita, apabila tidak ada mahram yang menyertainya berarti dirinya termasuk orang yang tidak memiliki kemampuan tersebut. Ini adalah pendapat yang rajih (unggul, kuat) berdasar keumuman dalil-dalil dalam masalah larangan safar bagi wanita tanpa mahram. Tak ada pula dalil yang mengkhususkan kebolehan safar bagi wanita tanpa mahram untuk berhaji. Adapun dalil yang berbunyi: “Seorang wanita bertanya (kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam): ‘Sesungguhnya ayahku tak mampu haji dan umrah. Apakah aku boleh menghajikan baginya?’ Jawab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Hajikanlah olehmu ayahmu’.” Ini tidaklah mengandung pengertian telah diizinkan bagi wanita tersebut untuk safar tanpa mahram. Akan tetapi, sesungguhnya hal itu merupakan bentuk izin bagi wanita tersebut untuk menghajikan ayahnya. Adalah sesuatu yang sudah maklum bahwa untuk bisa menghajikan itu perlu syarat adanya mahram bersamanya. Ini sebagaimana telah ditunjukkan dalam dalil-dalil yang ada. (Kasyful Wa’tsa`, hal. 53-54) Maka, hayati dan pikirkanlah! Jika bepergian untuk menunaikan suatu hal yang wajib, yang merupakan rukun Islam kelima yaitu haji, seorang wanita tetap tidak diperkenankan, maka apatah lagi jika bepergian tersebut sesuatu yang bersifat mengisi waktu senggang. Cuma sekadar tamasya dan bersenang-senang. Emansipasi Wanita Merupakan Upaya Terselubung Untuk Melepaskan Manusia Dari Ikatan Agama Paham emansipasi telah mewabah. Tak sedikit muslimah yang benaknya terjangkiti paham ini. Tentunya, keadaan nyaris sama terjadi pula pada kaum pria. Emansipasi dijadikan alasan untuk melampiaskan ekspresi kebebasan yang tiada batas. Menggelandang tanpa terukur dan terkendali, melabrak nilai-nilai agama. Melalui alasan emansipasi ini, ketentuan syariat seperti poligami, talak, pembagian warisan, hijab, hingga masalah khatib Jum’at pun coba didongkel untuk dipermasalahkan. Beberapa masalah yang disebutkan tadi hanya sebagian saja yang mencuat. Masih banyak agenda lainnya dari kalangan wanita –dengan alasan emansipasi– yang akan atau sedang ‘diperjuangkan’. Dengan bahasa ‘ilmiah’ mereka kemas dengan ungkapan ‘rekonstruksi nilai-nilai Islam dalam masalah jender’ atau yang semakna. Intinya, ingin memuaskan hawa nafsunya melepaskan diri dari ikatan agama. Atau, bisa juga lantaran ingin mengubah tatanan beragama hingga selaras dengan pemikiran-pemikirannya yang telah terwarnai pemikiran kufur. Wallahu ta’ala a’lam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: يُرِيدُونَ لِيُطْفِئُوا نُورَ اللهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَاللهُ مُتِمُّ نُورِهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ “Mereka ingin hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci.” (Ash-Shaff:


Tidak ada komentar:

Posting Komentar