SELAMAT DATANG DIBLOG BEJOSENTOSO

Selasa, 22 November 2011

Khalifah Umar Bin Khattab dan Penggali Parit Umar bin Khattab tidak saja di kenal sebagai khalifah yang berwibawa, tapi juga sederhana dan merakyat. Untuk mengetahui kondisi rakyatnya, Umar tak segan-segan menyamar jadi rakyat biasa. Ia sering berjalan-jalan ke pelosok desa seorang diri. Pada saat seperti itu tak seorang pun mengenalinya bahwa ia sesungguhnya kepala pemerintahan. Kalau ia menemukan rakyatnya sedang kesusahan, ia pun segera memberi bantuan. Umar sadar, apa yang ada di tangannya saat itu bukanlah miliknya melainkan milik rakyat. Untuk itu Umar melarang keras anggota keluarganya berfoya-foya. Ia selalu berhemat dalam menggunakan kebutuhannya sehari-hari. Karena hematnya, untuk menggunakan lampu saja keluarga Amirulmukminin ini sangat berhati-hati. Lampu minyak itu baru dinyalakan bila ada pembicaraan penting. Jika tidak, lebih baik tidak pakai lampu. "Anak-anakku, lebih baik kita bicara dalam gelap. Sebab, minyak yang digunakan untuk menyalakan lampu ini milik rakyat! "Sahut khalifah ketika anaknya ingin bicara di tengah malam. Dalam hidupnya, Umar senantiasa memegang teguh amanat yang diembankan rakyat di pundaknya. Pribadi Umar yang begitu mulia terdengar dimana-mana. Seluruh rakyat sangat menghormatinya. Rupanya, cerita tentang keagungan Khalifah Umar ini terdengar pula oleh seorang raja negara tetangga. Raja tertarik dan ingin sekali bertemu dengan Umar. Maka pada suatu hari dipersiapkanlah tentara pemerintah untuk mengontrolnya berkunjung ke pemerintahan Umar. Ketika raja itu sampai di gerbang kota Madinah, dilihatnya seorang pria sedang sibuk menggali parit dan membersihkan got di pinggir jalan. Lalu, di panggilnya laki-laki itu. "Wahai saudaraku!" seru raja sambil duduk di atas pelana kuda kebesarannya. "Bisakah kau menunjukkan di mana letak istana dan singgasana Umar?" tanyanya kemudian. Pria itu segera menghentikan pekerjaannya. Lalu, ia memberi hormat. "Wahai Tuan, Umar manakah yang Tuan maksud?" si penggali parit balik bertanya. "Umar bin Khattab kepala pemerintahan Islam yang terkenal bijaksana dan gagah berani," kata raja. Pria penggali parit itu tersenyum. "Tuan salah terka. Umar bin Khattab kepala pemerintahan Islam sebenarnya tidak punya istana dan singgasana seperti yang tuan duga. Ia orang biasa seperti saya, "terang si penggali parit,". "Ah benarkah? Mana mungkin kepala pemerintahan Islam yang terkenal agung seantero negeri itu tak punya istana? "Raja itu mengerutkan dahinya. "Tuan tidak percaya? Baiklah, ikuti saya, "sahut penggali parit itu. Lalu diajaknya rombongan raja itu menuju "istana" Umar. Setelah berjalan menelusuri lorong-lorong kampung, pasar, dan kota, akhirnya mereka tiba di depan sebuah rumah sederhana. Diajaknya tamu pemerintah itu masuk dan dipersilakannya duduk. Penggali parit itu pergi ke belakang dan ganti pakaian. Setelah itu ditemuinya tamu pemerintah itu. "Sekarang antarkanlah kami ke pemerintah Umar!" Kata raja itu tak sabar. Penggali parit tersenyum. "Tuan raja, tadi sudah saya katakan bahwa Umar bin Khattab tidak memiliki pemerintah. Kapan tuan masih juga bertanya di mana letak pemerintah Umar itu, maka saat ini juga tuan-tuan sedang berada di dalam istana Umar! " Hah?! "Raja dan para pengawalnya terbelalak. Tentu saja mereka terkejut. Sebab, rumah yang di masukinya itu tidak menggambarkan sedikitpun sebagai pusat pemerintahan. Meski rumah itu tampak bersih dan tersusun rapi, namun sangat sederhana. Rupanya raja tak mau percaya begitu saja. Ia pun mengeluarkan pedangnya. Lalu berdiri sambil mengacungkan pedangnya. "Jangan coba-coba menipuku! Pedang ini bisa memotong lehermu dalam sekejap! "Ancamnya melotot. Penggali parit itu tetap tersenyum. Lalu dengan tenangnya, ia pun berdiri. "Di sini tidak ada rakyat yang berani berbohong. Kapan ada, maka belum bicara pun pedang telah menebas lehernya. Letakkanlah pedang Tuan. Tak pantas kita bertengkar di istana Umar, "kata penggali parit. Dengan tenang ia memegang pedang raja dan memasukkannya kembali pada sarungnya. Raja terkesima melihat keberanian dan ketenangan si penggali parit. Antara percaya dan tidak, Dipandanginya wajah penggali parit itu. Lantas, ia menebarkan kembali pandangannya menyaksikan "istana" Umar itu. Muncullah server-server dan penjagaan untuk menjamu mereka dengan upacara kebesaran. Namun, raja itu belum juga percaya. "Benarkah ini istana Umar?" tanyanya pada server-server. "Betul, Tuanku, inilah istana Umar bin Khattab," jawab salah seorang pelayan. "Baiklah," katanya. Raja memang harus mempercayai ucapan server itu. "Tapi, dimanakah Umar? Tunjukkan padaku, aku ingin sekali bertemu dengannya dan bersalaman dengannya! "Ujar sang raja. Dengan sopan server itu pun mengarah pria penggali parit yang duduk di depan raja. "Yang duduk di depan Tuan adalah Umar bin Khattab" sahut server itu. "Hah?!" Raja kini benar-benar tercengang. Begitu pula para pengawalnya. "Jad ... jadi, Anda Khalifah Umar itu ...?" tanya raja dengan tergagap. Si penggali parit mengangguk sambil tersenyum ramah. "Sejak kita pertemu pertama kali di pintu gerbang kota Madinah, sebenarnya Tuan sudah berhadapan dengan Umar bin Khattab ! "ujarnya dengan tenang. Kemudian raja itu pun langsung menubruk Umar dan memeluknya erat sekali. Ia sangat terharu bahkan menangis melihat kesederhanaan Umar. Ia tak menyangka, Khalifah yang namanya disegani di seluruh negeri itu, ternyata rela menggali parit seorang diri di pinggir kota. Sejak itu, raja selalu mengirim rakyatnya ke kota Madinah untuk mempelajari agama Islam


Tidak ada komentar:

Posting Komentar